Kamis, 12 Agustus 2010

Mencari kenikmatan shalat

Saya diminta untuk berbicara tentang nikmat salat. Terlebih dahulu kita akan bertanya, “di mana letak kenikmatan salat itu?

Ada kawan saya yang telah mendatani beberapa guru, belajar beberapa aliran tarekat, dengan maksud ingin merasakan kenikmatan salat. Dia pernah hadir dalam sebuah pengajian. Dari gurunya, dia diberi bermacam macam bacaan yang harus diucapkan sebelum salat; agar salatnya memperoleh kekhusyukan dan kenikmatan

Dia salat bersama kawannya yang lain. Semua orang menangis terisak isak waktu salat. Dia sendiri tidak bias menangis. Dia memandang kenikmatan salat itu berasal dari tangisan. Makin keras menangis diwaktu salat, makin banyak air mata keluar, makin terasa salat itu nikmat baginya.

Kawan saya ini, seorang purnawerawan, sukar sekali menangis kalau salat. Tetapi dia bercerita kepada saya bahwa dia mudah menangis, kalau dia meliaht dalam televisi atau mendengar radio seorang anak manusia yang menderita karena dianiaya atau disakiti hatinya. Dia memperoleh kenikmatan dalam menangis itu, tetapi tangisan yang sama tidak bias dia keluarkan ketika dia salat.

Kawan saya itu bertanya bagaimana caranya menangis dengan keras dalam salat. Dia ingin merasakan kenikmatan salatnya. Pada saat itu saya katakana kepadanya, “bapak lebih baik menangis ketika melihat penderitaan orang lain ketimbang menangis pada waktu salat. Menangis yang pertama lebih bermanfaat ketimbang menangis yang kedua. Menangis di waktu salat mungkin hanya menguntungkan diri anda saja. Boleh jadi, tidak ada bekasnya sesudah itu.

Kawan saya lalu bercerita “betul saya pernah menyaksikan seseorang dalam rombongan jamaah haji. Ketika dia salat di masjidil haram, dia menangis keras. Tetapi begitu keluar dari masjid! Haram, dia tertawa terbahak-bahak. Tidak tampak bekas tangisan itu di luar masjidil haram itu.”

Buat saya, kenikmatan salat tidak diukur dengan kemempuan menanis. Memang tidak ada jeleknya menangis ketika salat. Nabi sendiri mengajarkan kepada kita untuk menangis. Beliau bersabda: “kalau kamu tidak bisa menangis, maka usahakan supaya kamu dapat menangis”.

Siti aisayah pernah bercerita bahwa di tengah malam, pernah Rasulullah saw bangun. Dia menemuinya dan mengatakan :”hai aisyah, izinkanlah saya beribadah pada tuhanku”. Aisyah berkata, “Ya rasulullah, aku senang engkau dekat denganku. Tetapi aku juga lebih senang jika engkau beribadah kepada tuhanmu.” Lalu Rasulullah mengambil wadah air satu satunya perkakas rumah tangga di rumanya untuk berwudu dan melakukan salat.

Siti aisyah bercerita, baru saja rasuullah mengangkat tangannya, ketika dia memasuki surah yang dibacanya, rasulullah terisak isak menagis. Bilal bertanlya, “Ya Rasulullah, mengapa engaku mengais padahal Allha telah mengampui dosa dosamu baik yang terdahulu maupun yang kemudian?” waktu itu Rasulullah menjawab, “bukankah aku belum menjadi hamba yang bersyukur?”

Kemudian rasulullah bersabda:”pada malam ini turun satu ayat al-Quran. Celakalah orang yang membaca ayat al-Quran ini, tapi tidak merenungkan maknyanya. Kemudian Rasulullah membacakan ayat:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (QS 3:190)

Rasulullah saw salat dalam keadaan menangis. Para awliya’, orang orang saleh juga menangis pada waktu salat. Kita juga dianjurkan, kalau bisa, salat dalam keadaan menangis.

Karena orang melihat contoh dari Rasulullh saw, sahabat, dan para kekasih Allah, maka mereka menduga bahwa kenikmatan salat hanya terletak pada tangisan. Kalau dia tidak bisa menangis pada waktu salat, maka orang membuat cara bagaimana membuat suasana agar bisa menangis ketika berdoa. Sehingga ada yang kita sebut rekayasa spiritual

Dahulu dan mungkin belakanan ini ada anak anak muda yang dididik dalam training training; apakah itu pesantren kilat, atau studi islam intensif, atau apa saja namanya. Pada hari terakhir acara biasanya, pada tengah malam, diadakanlah apa yang disebut renungan suci. Renungan suci ini dinilai berhasil apabila semua peserta menangis terisak-isak. Lebih berhasil lagi kalau dia menangis histeris dan sesudah itu dia dirawat di rumah sakit jiwa.

Mereka berkata bahwa dengan tangisan itu orang merasakan kenikmatan salat. Sekali lagi, itu tidak salah. Kalau bisa menangislah ketika salat itu. Sadari segala dosa-dosa dan perbuatan yang tercela. Mohonkan ampunan di waktu salat.

Akan tetapi, biasanya dari pengalaman banyak orang dan juga dicontohkan oleh Rasulullah saw, salat dengan menangis itu umumnya hanya bisa dilakukan kalau kita sedang melakukan salat malam. Saya belum membaca keterangan hadis Rasulullah saw bahwa beliau menangis pada waktu salat fardu. Kita hanya mendengar riwayat tangisan Rasulullah itu ketika beliau melakukan salat sunat, terutama sekali salat malam.

Nabi mengajarkan kepada kita bagaimana cara menangis ketika Salat malam. Akan saya sampaikan apa yang diajarkan oleh Rasulullah. Dan lakukanlah apa yang diajarkan oleh Rasulullah itu. Saya menjamin bahwa saudara akan terisak-isak menangis ketika melakukannya.

Pertama, ketika salat malam, salatlah dua rakaat, dua rakaat, karena Rasulullah saw paling sering melakukan salat malam dua rakaat. Sesudah empat kali dua rakaat, anda lakukan lagi salat dua rakaat lagi yang disebut dengan salat syafa’. Pada rakaat pertama, anda baca surah al-fatihah dengan al-kafirun; dan pada rakaat yang kedua, anada baca surah al-fatihah dengan al-iklas. Kemudian lakukanlah salat witir.bacalah surah al-fatihah, surah al-falaq dan surah an-nas. Kemudaian bacalah istighfar tujuh puluh kali. Aku memohon ampun kepada Allah dan kembali kepada-Nya.

Memohon ampounan di waktu dini hari, pada saat salat malam ditegaskan di dalm al-Quran sebagai salah satu tanda orang-orang yang bertakwa.

Dan di akhir-akhir malam mereka memohon kepada Allah (QS 51:18)

Setelah istigfar, sebelum ruku’, bacalah doa:”hadza maqamul aidzi bika minannar” yang artinya, “Ya Allah, inilah saya yang berlindung kepada-Mu dari api neraka,” sebanyak 7kali

Sesudah itu, doakan kaum mukminin dan mukminat. Sebut nama mereka satu per satu. Paling sedikit empat puluh orang. Kamudian kita berdoa untuk diri kita sendiri. Lalu kita ruku, iktidal, sujud, tahyat kamudian salam

Insya Allah, anda akan merasakan kenikmatan menangis pada waktu dini hari. Menangis di hadapan Allah SWT.

Mengapa? Pada waktu salat fardhu kita malah dianjurkan untuk memperpendek bacaan salat, karena boleh jadi ada orang yang hendak melakukan keperluannya di tempat lain. Mungkin juga ada orang yang sangat tua, atau ada di antara pengikut salat yang sedang sakit. Karena itu Rasulullah hanya memperpanjang salatnya pada saat beliau melakukan salat malam. Pada salat fardu Rasulullah tidak melazimkan melakukan salat yang panjang.

Saya kira bahwa menangis yang tulus, tanpa rekayasa, adalah menanis pada waktu kita menangis dalam keadaan ramai-ramai, maka boleh jadi sebab tangisan itu adalah sugesti kelompok; karena kita mendengar orang lain sesenggukan, kita ikut menangis juga.

Mungkin ada oaring yang tulus juga dalam menangis pada salat bersamaan itu, tetapi saya kira lebih tulus lagi kalau anda menangis pada waktu sendirian, ketika kita berduaan dengan Allah SWT. Tangisan yang keluar spontan. Tangisan yang iklas. Dan mata yang menangis karena Allah SWT. Artinya, kalau seseorang menemukan tanda-tanda seperti yang diungkapkan oleh hadis tersebut dalam salatnya, maka insyaAllah dia akan menemukan kenikmatan salat dalam bentuk yang lain. Dia akan merasakan manfaat di dalam kehidupannya. Ada kenikmatan tertentu yang dia peroleh dari salatnya. Bukan hanya kenikmatan menangis saja, tetapi juga kenimatan yang lain.

Kalau selama ini salat kita belum mendatangkan kenikmatan, maka besar kemungkinan salat kita belum diterima oleh Allah SWT. Rasulullah saw yang mulia bersabda:”pada hari kiamat nanti ada orang yang membawa salatnya kepada Allah SWT. Bahkan ada yang celaka dengan salatnya. Allah SWT berfirman:

Celakalah orang-orang yang salat. yaitu orang orang yang melalaikan salatnya(QS 107:4-5)

sumber: at-tanwir

Baca selengkapnya......

Shalat Yang Diterima Tuhan

Saya akan memulai pembahasan ini dengan hadis-hadis Rasulullah saw. Yang ada hubunganya dengan salat dan ada pula hubungannya dengan kemasyarakatan.

Dalam sebuah hadis, disebutkan bahwa Rasulullah saw. Pernah bersabda: “Akan datang suatu zaman, orang-orangnya berkumpul di masjid berjamaah tetapi tidak seorangpun di antara mereka yang mukmin.”

Dalam hadis lain, yang dimuat didalam kitab Kanzul ‘Ummal, Rasulullah saw. Juga bersabda: “ nanti akan datang suatu zaman; seorang muazin berazan, kemudian orang-orang menegakkan shalat, tetapi diantara mereka tidak ada yang mukmin”.(hadis no.3110)

Sabda-sabda Rasulullah yang mulia di atas menarik bagi kita karena ada sekelompok orang berjamaah melakukan salat tetapi tak ada seorangpun di antara mereka yang mukmin.

Pada gilirannya muncul sebuah pertanyaan di benak kita, “mengapa salat yang mereka lakukan tidak di anggap sebagai tanda seorang yang mukmin? Dan mengapa orang yang salat di masjid itu tidak dihitung sebagai orang yang mukmin?”

Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan menunjukan tanda-tanda orang mukmin itu. Salat bukanlah tanda bahwa seseorang dianggap mukmin, tetapi salat merupakan tanda bahwa dia sebagai orang muslim. Oleh karena itu, tanda seorang mukmin ialah salat ditambah dengan yang lain-lain.

Saya ingin menyebutkan karakteristik orang mukmin yang dimuat dalam Shahih Bukhari, bahwa Rasulullah yang mulia bersabda:

  1. Barangsiapa yang beriman (mukmin) kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya dia menghormati tetangganya.

2. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya dia senang menyambungkan tali persaudaraan.

3. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya dia berbicara yang benar, dan kalau tidak mampu bicara dengan baik, maka

lebih baik ia berdiam diri.

4. Tidak dianggap sebagai orang beriman, apabila kamu tidur dalam keadaan kenyang sementara para tetangga kamu kelaparan di samping kamu.

Dengan hanya mengambil empat buah hadis itu anda melihat bahwa tanda seorang mukmin itu terlihat dari tanggung jawabnya di tengah-tengah masyarakatnya.

Kalau dia menghormati tetangganya, kalau dia menyambungkan tali persaudaraan, dan kalau dia berbicara benar atau memiliki keprihatinan di antara penderitaan yang dirasakan oleh saudara di sekitarnya, maka baru boleh dikatakan bahwa dia adalah seorang mukmin.

Jadi, dengan kata lain, Rasulullah saw. Menyebutkan bahwa nanti akan datang suatu zaman yang orang-orangnya berkumpul di masjid untuk mendirikan salat tetapi tidak akur dengan tetangganya, yaitu tidak menyambungkan tali persaudaraan di antara kaum muslim. Dia menyebarkan fitnah dan tuduhan yang tidak layak terhadap kaum muslim. Mereka melaksanakn salat tetepi tidak sanggup mengatakan kalimat yang benar. Mereka melakukan salat tetapi acuh tak acuh dengan penderitaan yang dirasakan sesamanya. Kata Rasulullah, mereka adalah orang-orang yang melakukan salat, akan tetapi tidak diterima salatnya.

Rasulullah saw. Juga pernah bersabda: “ada dua orang umatku melakukan salat, yang rukuk dan sujudnya sama, akan tetapi nilai salat kedua orang itu jauhnya antara langit dan bumi.”?

Dalam hadis qudsi, juga disebutkan tentang orang yang diterima salatnya oleh Allah SWT:

Sesungguhnya Aku (Allah SWT) hanya akan menerima salat dari orang yang dengan salatnya ia merendahkan diri ke hadapan-Ku. Ia tidak sombong dengan makhluk-ku yang lain. Ia tidak menulangi maksiat kepada-ku. Ia menyayangi orang-orang yang miskin dan orang-orang yang menderita. Aku akan tutup salat orang itu dengan kebesaran-Ku. Aku akan suruh malaikat untuk menjaganya; orang itu akan memperkenankanya. Perumpamaan dia dengan makhluk-Ku yang lain adalah seperti perumpamaan firdaus di surga.

Dalam hadis tersebut disebutkan bahwa tanda-tanda orang yang diterima salatnya oleh Allah SWT. Pertama, dia datang untuk melaksanakan salat dengan merendahkan diri kepada-Nya. Dalam al-Quran, keadaan seperti itu disebut dengan istilah khusyu’. Dan salat yang khusyu’ adalah salah satu tanda orang yang mukmin. Yang disebut dengan salat khusyu’ itu bukan yang tidak ingat apa pun. Karena yang tidak apapun itu disebut pingsan

Diriwayatkan bahwa Sayyidina Ali bi Abi Thalib k.w. kalau beliau hendak melakukan salat tubuhnya gemetar dan wajahnya pucat pasi. Sehingga ketika ada orang yang bertanya kepadanya,”mengapa anda ya amirul mukminin?”

Sayyidina Ali menjawab,”engkau tidak tahu bahwa sebentar lagi aku akan menghadapi waktu amanah.” Kemudian sayyidina Ali membacakan sebuat ayat Al-Qur’an:

Sesungguhnya kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh menusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (QS 33;72)

Kemudian sayyidina Ali melanjutkan ucapannya, “salat adalah suatu amanat Allah yang pernah ditawarkan kepada langit, bumi, dan bukit untuk memikulnya, tetapi mereka menolaknya dan hanya manusia yang sanggup memikulnya. Memikul amanat mengabdi kepada-Nya.

Kedua, dia tidak sombong dengan makhluk-Ku yang lain. Jadi, anda orang yang diterima salatnya ialah tidak takabur. Takabur, menurut Al-Ghazali, ialah sifat orang yang merasa dirinya lebih besar dari pada orang lain. Kemudian ia memandang enteng orang lain itu. Boleh jadi karena ilmu, amal, keturunan, kekayaan, anak-buah dan kecantikannya.

Kalau anda merasa besar karena memiliki hal-hal itu dan memandang enteng orang lain, maka anda sudah takabur. Dan salat anda tidak diterima. Bahkan dalam hadis lain, disebutkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda: ”tidak akan masuk surga seseorang yang didalam hatinya ada rasa takabur walaupun sebesar debu saja”.

Biasanya masyarakat akan menjadi rusak kalau di tengah-tengah masyarakat itu ada orang yang takabur. Kemudian takabur itu ditampakkan untuk memperoleh perlakuan yang istimewa. Dan anehnya, seringkali sifat takabur menghinggapi para aktivis masjid atau akitvis kegiatan keagamaan. Mereka biasanya takabur dengan ilmunya dan menganggap dirinya yang paling benar.

Ketiga, tanda orang yang diterima salatnya ialah orang yang tidak mengulangi maksiatnya kepada Allah SWT. Nabi yang mulia bersabda: “barangsiapa yang salatnya tidak mencegahnya dari kejelekan dan kemungkaran, maka salatnya hanya akan menjauhkan dirinya dari Allah SWT.”Dalam hadis yang lain, Rasulullah saw. Mengatakan: “nanti pada hari kiamat ada orang yang membawa salatnya di hadapan Allah. Kemudian salatnya diterima dan dilipa-lipat seperti dilipat-lipatnya pakaian yang kotor dan usang. Lalu salat itu dibantingkan ke wajahnya.”

Allah tidak menerima salat itu karena salatnya tidak dapat mencegah perbuatan maksitnya setelah ia melakukan maksiat tersebut. Bukankah al-Qur’an telah mengatakan

… sesungguhnya salat mencegah dari perbuatan perbuatan keji dan mungkar…. (QS 29:45)

Keempat, orang yang diterima salatnya ialah orang yang menyayangi orang-orang miskin. Kalau diterjemahkan dengan kalimat modern ialah orang yang mempunyai solidaritas social. Dia bukan hanya melakukan ruku’ dan sujud saja, tetapi dia juga memikirkan penderitaan sesamanya. Dia menyisihkan sebagian waktu dan rizkinya untuk membahagiakan orang lain.

Kalau dalam salat anda, anda sudah merasakan kebesaran Allah dan tidak takabur, dan kalau anda sudah tidak mengulangi perbuatan maksiat sesudah salat; dan kalau anda sudah mempunyai perhatian yang besar terhadap kesejateraan orang lain, maka Allah akan melindungi anda dengan jubah kebesaran-Nya Allah akan memberikan kepada anda kemulian dengan kemuliaan-Nya, dan akan membungkus anda dengan busana kebesaran-Nya. Di samping itu, Allah akan menyuruh para malaikat untuk menjaga anda; dan para malaikat itu akan berkata sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an

Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu mempreoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepadamu (QS 41:31)
sumber: At-tanwir

Baca selengkapnya......

Shalat Yang Diterima Tuhan

Saya akan memulai pembahasan ini dengan hadis-hadis Rasulullah saw. Yang ada hubunganya dengan salat dan ada pula hubungannya dengan kemasyarakatan.

Dalam sebuah hadis, disebutkan bahwa Rasulullah saw. Pernah bersabda: “Akan datang suatu zaman, orang-orangnya berkumpul di masjid berjamaah tetapi tidak seorangpun di antara mereka yang mukmin.”

Dalam hadis lain, yang dimuat didalam kitab Kanzul ‘Ummal, Rasulullah saw. Juga bersabda: “ nanti akan datang suatu zaman; seorang muazin berazan, kemudian orang-orang menegakkan shalat, tetapi diantara mereka tidak ada yang mukmin”.(hadis no.3110)

Sabda-sabda Rasulullah yang mulia di atas menarik bagi kita karena ada sekelompok orang berjamaah melakukan salat tetapi tak ada seorangpun di antara mereka yang mukmin.

Pada gilirannya muncul sebuah pertanyaan di benak kita, “mengapa salat yang mereka lakukan tidak di anggap sebagai tanda seorang yang mukmin? Dan mengapa orang yang salat di masjid itu tidak dihitung sebagai orang yang mukmin?”

Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan menunjukan tanda-tanda orang mukmin itu. Salat bukanlah tanda bahwa seseorang dianggap mukmin, tetapi salat merupakan tanda bahwa dia sebagai orang muslim. Oleh karena itu, tanda seorang mukmin ialah salat ditambah dengan yang lain-lain.

Saya ingin menyebutkan karakteristik orang mukmin yang dimuat dalam Shahih Bukhari, bahwa Rasulullah yang mulia bersabda:

  1. Barangsiapa yang beriman (mukmin) kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya dia menghormati tetangganya.

2. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya dia senang menyambungkan tali persaudaraan.

3. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya dia berbicara yang benar, dan kalau tidak mampu bicara dengan baik, maka

lebih baik ia berdiam diri.

4. Tidak dianggap sebagai orang beriman, apabila kamu tidur dalam keadaan kenyang sementara para tetangga kamu kelaparan di samping kamu.

Dengan hanya mengambil empat buah hadis itu anda melihat bahwa tanda seorang mukmin itu terlihat dari tanggung jawabnya di tengah-tengah masyarakatnya.

Kalau dia menghormati tetangganya, kalau dia menyambungkan tali persaudaraan, dan kalau dia berbicara benar atau memiliki keprihatinan di antara penderitaan yang dirasakan oleh saudara di sekitarnya, maka baru boleh dikatakan bahwa dia adalah seorang mukmin.

Jadi, dengan kata lain, Rasulullah saw. Menyebutkan bahwa nanti akan datang suatu zaman yang orang-orangnya berkumpul di masjid untuk mendirikan salat tetapi tidak akur dengan tetangganya, yaitu tidak menyambungkan tali persaudaraan di antara kaum muslim. Dia menyebarkan fitnah dan tuduhan yang tidak layak terhadap kaum muslim. Mereka melaksanakn salat tetepi tidak sanggup mengatakan kalimat yang benar. Mereka melakukan salat tetapi acuh tak acuh dengan penderitaan yang dirasakan sesamanya. Kata Rasulullah, mereka adalah orang-orang yang melakukan salat, akan tetapi tidak diterima salatnya.

Rasulullah saw. Juga pernah bersabda: “ada dua orang umatku melakukan salat, yang rukuk dan sujudnya sama, akan tetapi nilai salat kedua orang itu jauhnya antara langit dan bumi.”?

Dalam hadis qudsi, juga disebutkan tentang orang yang diterima salatnya oleh Allah SWT:

Sesungguhnya Aku (Allah SWT) hanya akan menerima salat dari orang yang dengan salatnya ia merendahkan diri ke hadapan-Ku. Ia tidak sombong dengan makhluk-ku yang lain. Ia tidak menulangi maksiat kepada-ku. Ia menyayangi orang-orang yang miskin dan orang-orang yang menderita. Aku akan tutup salat orang itu dengan kebesaran-Ku. Aku akan suruh malaikat untuk menjaganya; orang itu akan memperkenankanya. Perumpamaan dia dengan makhluk-Ku yang lain adalah seperti perumpamaan firdaus di surga.

Dalam hadis tersebut disebutkan bahwa tanda-tanda orang yang diterima salatnya oleh Allah SWT. Pertama, dia datang untuk melaksanakan salat dengan merendahkan diri kepada-Nya. Dalam al-Quran, keadaan seperti itu disebut dengan istilah khusyu’. Dan salat yang khusyu’ adalah salah satu tanda orang yang mukmin. Yang disebut dengan salat khusyu’ itu bukan yang tidak ingat apa pun. Karena yang tidak apapun itu disebut pingsan

Diriwayatkan bahwa Sayyidina Ali bi Abi Thalib k.w. kalau beliau hendak melakukan salat tubuhnya gemetar dan wajahnya pucat pasi. Sehingga ketika ada orang yang bertanya kepadanya,”mengapa anda ya amirul mukminin?”

Sayyidina Ali menjawab,”engkau tidak tahu bahwa sebentar lagi aku akan menghadapi waktu amanah.” Kemudian sayyidina Ali membacakan sebuat ayat Al-Qur’an:

Sesungguhnya kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh menusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (QS 33;72)

Kemudian sayyidina Ali melanjutkan ucapannya, “salat adalah suatu amanat Allah yang pernah ditawarkan kepada langit, bumi, dan bukit untuk memikulnya, tetapi mereka menolaknya dan hanya manusia yang sanggup memikulnya. Memikul amanat mengabdi kepada-Nya.

Kedua, dia tidak sombong dengan makhluk-Ku yang lain. Jadi, anda orang yang diterima salatnya ialah tidak takabur. Takabur, menurut Al-Ghazali, ialah sifat orang yang merasa dirinya lebih besar dari pada orang lain. Kemudian ia memandang enteng orang lain itu. Boleh jadi karena ilmu, amal, keturunan, kekayaan, anak-buah dan kecantikannya.

Kalau anda merasa besar karena memiliki hal-hal itu dan memandang enteng orang lain, maka anda sudah takabur. Dan salat anda tidak diterima. Bahkan dalam hadis lain, disebutkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda: ”tidak akan masuk surga seseorang yang didalam hatinya ada rasa takabur walaupun sebesar debu saja”.

Biasanya masyarakat akan menjadi rusak kalau di tengah-tengah masyarakat itu ada orang yang takabur. Kemudian takabur itu ditampakkan untuk memperoleh perlakuan yang istimewa. Dan anehnya, seringkali sifat takabur menghinggapi para aktivis masjid atau akitvis kegiatan keagamaan. Mereka biasanya takabur dengan ilmunya dan menganggap dirinya yang paling benar.

Ketiga, tanda orang yang diterima salatnya ialah orang yang tidak mengulangi maksiatnya kepada Allah SWT. Nabi yang mulia bersabda: “barangsiapa yang salatnya tidak mencegahnya dari kejelekan dan kemungkaran, maka salatnya hanya akan menjauhkan dirinya dari Allah SWT.”Dalam hadis yang lain, Rasulullah saw. Mengatakan: “nanti pada hari kiamat ada orang yang membawa salatnya di hadapan Allah. Kemudian salatnya diterima dan dilipa-lipat seperti dilipat-lipatnya pakaian yang kotor dan usang. Lalu salat itu dibantingkan ke wajahnya.”

Allah tidak menerima salat itu karena salatnya tidak dapat mencegah perbuatan maksitnya setelah ia melakukan maksiat tersebut. Bukankah al-Qur’an telah mengatakan

… sesungguhnya salat mencegah dari perbuatan perbuatan keji dan mungkar…. (QS 29:45)

Keempat, orang yang diterima salatnya ialah orang yang menyayangi orang-orang miskin. Kalau diterjemahkan dengan kalimat modern ialah orang yang mempunyai solidaritas social. Dia bukan hanya melakukan ruku’ dan sujud saja, tetapi dia juga memikirkan penderitaan sesamanya. Dia menyisihkan sebagian waktu dan rizkinya untuk membahagiakan orang lain.

Kalau dalam salat anda, anda sudah merasakan kebesaran Allah dan tidak takabur, dan kalau anda sudah tidak mengulangi perbuatan maksiat sesudah salat; dan kalau anda sudah mempunyai perhatian yang besar terhadap kesejateraan orang lain, maka Allah akan melindungi anda dengan jubah kebesaran-Nya Allah akan memberikan kepada anda kemulian dengan kemuliaan-Nya, dan akan membungkus anda dengan busana kebesaran-Nya. Di samping itu, Allah akan menyuruh para malaikat untuk menjaga anda; dan para malaikat itu akan berkata sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an

Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu mempreoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepadamu (QS 41:31)
sumber: At-tanwir

Baca selengkapnya......

Haji Mabrur

"Dan ibadah haji ke Rumah itu wajib bagi manusia karena Allah (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan kesana” ( Ali Imran 96). Apakah ukuran mampu itu? Para sahabat Nabi SAW. Menyebutkan dua: ada bekal dan kendaraan. Tetapi Al-Dhahak, ulama besar yang pernah berguru kepada sahabat, hanya mensyaratkan tubuh yang sehat dan tenaga. Bila perlu, berangkatlah ke Baitullah walaupun berjalan kaki.

Sepanjang sejarah bekal dan kendaraan tidak menjadi keharusan. Ribuan muslim dari Afrika, Yaman, dan Negara-negara Timur-Tengah lainnya berangkat ke Mekah dengan berjalan kaki. Mereka tidur disekitar Masjidilharam, hanya dinaungi langit Hijaz yang tak berwarna. Burung-burung merpati melompat-lompat di samping kepala mereka. Rambut mereka berdebu, dan pakaian mereka lusuh. Tetapi barangkali merekalah yang menurut sebuah hadits di seru Tuhan pada hari Arafah, “ Hamba-hambaku datang kepadaku dengan rambut kusut dan pakaian lusuh dari sudut-sudut negeri yang jauh. Berangkatlah, wahai, hamba-hambaku, dengan ampunan-KU atasmu.” Mereka berseedia berangkat tanpa bekal yang cukup dan siap menderita untuk memperoleh ampunan Allah.

Di Indonesia, banyak orang beruntung naik haji juga tanpa mempersiapkan bekal. Mereka diberi bekal dan tidak menderita. Ada lima jenis haji dalam kelompok ini. Jenis pertama adalah orang yang beruntung naik haji karena ditunjuk pemerintah untuk menjadi anggota tim pembimbing haji atau petugas yang melayani kepentingan jemaah. Orang – orang yang tidak kebagian jatah biasanya menyebut mereka itu “haji nurdin kosasih”- nutur dinas ongkos dikasih. Jenis kedua sebut saja haji getter. Mirip vote getter dalam pemilu. Mereka adalah tokoh umat Islam yang dipilih oleh perusahan ONH plus untuk menarik “konsumen” (Resminya, untuk menyertai dan membimbing jemaah) . jenis ketiga adalah “ haji bonus”. Mereka dapat naik haji karena memenangkan perlombaan (misalnya juara MTQ ) atau hadiah perusahaan atau bank. Jenis keempat adalah haji “rekanan”. Anda memegang jabatan yang basah. Rekan Anda telah mendapat fasilitas yang menguntungkan dari Anda. Ia menyampaikan terima kasihnya dengan memberi Anda bekal naik haji- kalau perlu, berikut keluarga Anda. Jenis yang terakhir adalah yang paling beruntung- “ haji bisnis”. Mereka adalah penyelenggara bisnis haji. Mereka berangkat ke Mekah, melakukan ibadah haji, dan memperoleh keuntungan. Mereka sudah jelas mendapatkan fiddunya hasanah dan mudah- mudahan fil akhirati hasanah juga.

Apakah mereka termasuk kategori orang –orang yang mampu? Tentu saja. Kemampuan sekarang harus didefinisikan kembali. Anda sudah mampu bila Anda dapat sampai ke Tanah Suci dengan cara apa saja yang halal. Manakah yang mabrur-yang mempersiapkan bekal atau yang diberi bekal? Yang berjalan kaki atau berkendaraan, yang mendapat ratusan juta dari pembebasan tanah atau yang menabung puluhan tahun, yang memanfaatkan peluang sebagai TKI (TKW) di Arab Saudi atau yang datang ke sana dengan penerbangan regular dari mancanegara, yang tinggal di hotel Aziz Khogeer yang megah atau yang berdesakan di kamar rumah-rumah kumuh di Syi’b Ali?


Mabrurnya haji tak diukur dari cara memperoleh bekal, tidak dari tempat tinggal, tidak juga dari tingkat kepayahan. Haji adalah perjalanan rohani dari rumah-rumah yang selama ini mengungkung mereka menuju Rumah Tuhan. Haji yang mabrur adalah haji yang berhaasil mencampakkan sifat- sifat hewaniah dan menyerap sifat-sifat robaniah( ketuhanan). Ketika Abu Bashir terpesona mendengarkan gemuruh zikir orang-orang tawaf, Imam ja’far As- Shadiq mengusap wajahnya. Ia terkejut karena ia kemudian menyaksikan banyak sekali binatang di sekitar Baitullah. Ia sadar bahwa zikir saja tidak cukup untuk mabrur. Diperlukan trasformasi spiritual.

Kepada Asy-Syibli yang baru kembali dari menunaikan ibadah haji, Imam Zainal Abidin – sufi besar dari keluarga Nabi bertanya, “Ketika engkau sampai di miqat dan menanggal pakaian berjahit, apakah engkau berniat meniggalkan pakaian kemaksiatan dan mulai mengenakan busana ketaatan? Apakah engkau tanggalkan riya (suka pamer), kemunafikan, dan Syubhat? Ketika engkau berihram apakah engkau bertekad mengharamkan atas dirimu semua yang diharamkan Allah SWT? Ketika engkau menuju Mekah apakah engkau berniat untuk berjalan menuju Allah dan ketika engkau memasuki Masjidil Haram apakah engkau berniat untuk menghormati hak-hak orang lain dan tidak akan menggunjingkan sesama umat Islam? Ketika engkau sa’i apakah engkau merasa sedang lari menuju Tuhan diantara cemas dan harap? Ketika engkau wukuf di Arafah adakah engkau merasakan bahwa Allah mengetahui segala kejahatan yang kau sembunyikan dalam hatimu? Ketika engkau berangkat ke Mina apakah engkau bertekad untuk tidak mengganggu orang lain dengan lidahmu, tanganmu dan hatimu? Dan ketika engkau melempar Jumrah, Apakah engkau berniat memerangi iblis dalam sisa hidupmu? “ Ketika untuk semua pertanyaan itu Asy- Syibli menjawab tidak, Imam Zainal Abidin mengeluh, “ Ah… engkau belum ke miqat, belum ihram, belum tawaf, belum sa’i, belum wukuf, dan belum sampai ke Mina.” Asy- Syibli menangis. Pada tahun berikutnya ia berniat merevisi manasik hajinya.

Dalam manasik keluarga Nabi, yang menjadi persoalan bukan lagi kemampuan untuk mendapat bekal dan kendaraan tetapi kesanggupan meninggalkan rumah-rumah kita yang kotor supaya bisa beristirahat di Rumah Allah yang suci. Bila berhasil, Anda Mabrur.
sumber: At-tanwir

Baca selengkapnya......

Haji Bukan Hanya Dzikir

Pada tahu keenam hijrah, Nabi Muhammad SAW. Bermaksud melakukan ibadah haji. Jamaah haji yang pertama ini berhenti di hudaibiyah untuk memulai ihram. Mekkah masih dikuasai kaum musyrik. Walupun Nabi menegaskan kedatangannya hanya untuk berhaji, berat bagi mereka untuk menyaksikan seorang warga yang pernah diusir datang dengan segala kebesaran. Mereka memandang, haji Nabi bukan sekadar ritual tapi politis.

Melihat permusuhan yang diperlihatkan orang Mekkah, Nabi mengadakan taklimat kilat. Para sahabat bersumpah setia untuk membela Nabi. Suatu komitmen politik yang penting. Sumpah setia ini dikenal sebagai baiat Ridhwan. Ketegangan antara kedua belah pihak berakhir ketika Rasul Allah membuat perjanjian hudaibiyah.

Setahun kemudan, sesuai dengan perjanjian itu, Nabi sekali lagi datang untuk melakukan umrah. Penduduk mekkah menyingkir ke bukit-bukit sambil mengintip, apa yang bakal dilakukan umat islam. Setelah perjalanan jauh, tentu saja para sahabat memasuki Mekkah dalam keadaan lelah. Tetapi, Nabi menyuruh sahabat tawaf sambil berlari. Ketika sa’I, diantara kedua titik yang ditandai dengan tiang hijau yang dahulu kelihatan jelas oleh “penonton” dari balik bukit, para sahabat disuruh berlari juga. Nabi ingin menunjukkan kekuatan umat islam. Semacam “show of force” . Setahun setelah itu, Rasulullah dan pengikutnya memang berhasil menaklukkan Mekkah tanpa perlawanan yang berarti. Apa yang dilakukannya pada umrah al-Qadha, telah berdampak politik yang besar.

Pada tahun 10H, Nabi Muhammad SAW melakukan ibadah haji akbar. Karena haji ini haji yang terakhir, ahli sejarah menyebutnya haji wada. Di Arafah, Nabi berkhotbah juga khotbah perpisahan. Apa yang dikatakan Nabi dalam khotbah itu? Sama sekali tidak berkenaan dengan ibadah ritual. Nabi memulai khotbahnya dengan menekankan kewajiban menghormati darah dan kehormatan seseorang. Sekarang, kita menyebutnya masalah hak asai manusia. Nabi meminta perhatian jamaah haji pada system ekonomi jahiliyah yang tidak adil yang diwujudkan pada praktek riba. Nabi juga berbicara tentang hak-hak wanita dan berpesan pada kaum mukmin untuk melindungi dan menghormati mereka. jadi, khotbah Nabi berkenaan dengan persoalan politik, ekonomi, dan sosial.

Di Mina, pada hari penyembelihan kurban, turun ayat “Baraah”, artinya dekrit pembebasan dari ketergantungan kepada kaum musyrik. Baraah adalah proklamasi kemerdekaan tanah suci. Di sana di bukit Mina, Ali bin Abi Thalib berdiri menyampaikan dekrit Nabi yang berisi antara lain: orang musyrik tidak boleh mendekati Baitullah, tidak boleh tawaf sambil telanjang, dan setiap perjanjian harus dipenuhi. Ali juga membacakan ayat Baraah: Dan pengumuman dari Allah dan utusan-Nya kepada manusia pada waktu haji akbar bahwa Allah berlepas diri dari kaum musyrik; begitu pulautusan-Nya..(9:3)

Tradisi ini dilanjutkan oleh para sahabat sepeninggal Nabi. Umar bin khatab memanggil Amr bin Ash – gubernur Mesir- pada musim haji dan memintanya untuk mempertanggungjawabkan perbuatan anaknya. Seorang warga mesir mengadu kepada khalifah bahwa anak Amr telah menjebloskannya ke penjara. Umar menghukum anak gubernur dengan cambukan di hadapan para jamaah haji.

Waktu itu, Umar berkata, “hai Amr, mengapa engkau memperbudak manusia padahal ibunya telah melahirkannya sebagai orang merdeka.”

Utsman bin Affan pernah mengirim surat ke raja daerah kekuasaan islam. Ia mengimbau rakyat untuk mengadukan segala perilaku birokrat yang merugikan rakyat.” Bila ada yang pernah dicacimaki atau dianiaya.” Tulislah dan, “datanglah pada musim haji supaya ia dapat mengambil haknya dari aku dan dari para pejabatku.”


Mengomentari kedua khalifah itu, Dr. Baidhawi dalam Al Ibadah fi al islami menulis, “ para khalifah menyadari nilai musim haji internasional ini. Mereka jadikan haji sebagai tempat pertemuan antara mereka dan rakyat yang datang dari sudut-sudut negeri yang jauh; antara mereka dan para pejabat mereka dari berbagai daerah. Bila ada orang yang tertindas atau ingin mengadukan halnya, ia dapat menemui khalifah tanpa perantara dan tanpa penghadang. Di sanalah rakyat dapat berhadapan dengan khlifah tanpa segan atau takut. Di situ, yang dianiaya dilindungi dan hak dikembalikan walaupun hal itu harus diambil dari pejabat atau bahkan khalifah.

Menurut Al Quran, memang, ibadah haji memerintahkan “ agar mereka menyaksikan berbagai manfaat buat mereka dan berdzikir ( menyebut nama Allah) pada hari-hari yang ditentukan (Al-Haj 28) . serta para mufasir, ayat ini menyebutkan dua dimensi yaitu dimensi manfaat dan dimensi dzikir . Thabary, tafsir klasik, menyebut manfaat itu meliputi dunia dan akhirat. Syaltut. Syaikh Al- Azhar yang terkenal, meyebut dimensi-dimensi ipoleksosbud sebagai kandungan makna “manfaat”. Pada waktu hajilah kata Syaltut, bertemu para pemikir dan ilmuwan dan para ahli lainnya, inilah konferensi umat manusia yang terbesar.

Sayang, belakangan dimensi manfaat ini sudah diabaikan. Yang ditonjolkan – bahkan ditegaskan berkali kali untuk selalu diingat oleh para jamaah – adalah dimensi dzikir. Bila anda berangkat haji, niatkanlah hanya untuk ibadah haji. Bila anda pulang, pengalaman rohani sajalah yang harus anda ceritakan. Bagian pertama ayat itu seakan-akan sudah dicoret. Pedagang Indonesia dari berbagai daerah yang berjualan disekitar Masjid Al-Haram. Sekarang tidak. Dahulu, jamaah haji berbincang tentang situasi negeri mereka dan beberapa orang diantaranya pulang kenegerinya menjadi pejuang-pejuang kemerdekaan. Sekarang tidak. Bila ada juga diskusi antara para jamaah, yang didiskusikan adalah cara-cara ritual haji; tidak jarang sambil saling menyalahkan.

Untunglah itu semua terjadi pada masyarakat awam. Ketika para menteri naik haji, kita tahu mereka berbincang dengan para pejabat di Arab Saudi bukan hanya tentang haji. Ketika para pemimpin islam berkumpul di Mekkah, mereka bukan melulu merundingkan prosedur umrah dan haji.
sumber: At-tanwir

Baca selengkapnya......

maaf untuk semua

maaf untuk ketiadaan artikel baru sejak lama, sebab saya lupa password masuk ke blogspot

Baca selengkapnya......

Selasa, 04 Desember 2007

Transparansi Anggaran dalam Perspektif Islam

Sesungguhnya orang yang paling baik untuk kita ambil sebagai pekerja adalah orang yang memiliki kemampuan dan terpercaya”“(QS. 28:26)

Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Janganlah kamu memperhatikan banyaknya shalat dan puasanya, jangan pula kamu perhatikan banyaknya haji dan kesalehannya. Tetapi perhatikanlah kejujurannya dalam menyampaikan informasi dan menjalankan amanat.”

Ali bin Abi Thalib berkata:

“Kejujuran akan menyelamatkan kamu walaupun kamu takut kepadanya dan kebohongan mencelakan kamu walaupun tenteram karenanya”

Pada tahun 38 H, khalifah Islam yang keempat Ali bin Abi Thalib mengangkat Malik al-Asytar sebagai Gubernur Mesir. Semula Malik menduduki jabatan sebagai Gubernur di Nashibin, sebuah daerah kecil yang tidak sekaya Mesir. Imam Ali sangat mencintainya karena keluhuran akhlaknya. Ia sangat taat beribadat, sangat tekun berjihad, dan sangat bersabar menghadapi rakyat.

Seperti Ali ia piawai dalam memainkan pedang, di medan pertempuran ia bukan saja tidak pernah mundur, tetapi juga tidak pernah kalah. Namanya saja sudah cukup menggetarkan nyali musuh-musuhnya. Dalam kehidupan sehari-hari, seperti Ali ia bukan saja sabar menghadapi kenakalan rakyatnya, tetapi juga sangat cepat memberikan maafnya.

Ketika ia menjabat Panglima Angkatan Bersenjata dari Khalifah Ali, ia berjalan melewati pasar. Pakaiannya sangat sederhana, terbuat dari katun yang kasar. Melihat pakaiannya yang kumuh, seorang penjaga toko melemparinya dengan dedaunan kotor, sekedar mencemoohkannya. Ia mengacuhkan penghinaan itu, menoleh pun tidak. Ia melanjutkan perjalanannya dengan tenang. Orang yang mengenal Malik menegur penjaga toko itu, “Tahukah kamu siapa yang telah kamu olok-olokan itu?”. Ketika disebut nama Malik bin al-Asytar berguncanglah seluruh sendi-sendi tubuhnya. Dengan ketakutan yang amat sangat, ia mengejar Malik. Ia mendapatkannya sedang berdoa di masjid. Setelah Malik selesai berdoa, ia menjatuhkan dirinya, berlutut memohon ampun atas kelakuannya yang buruk. Ia menangis terisak-isak. Malik mengangkat dagunya dan berkata. ”Demi Allah, aku datang ke Masjid untuk berdoa semoga Allah mengampuni kamu.”

Dengan akhlak yang begitu mulia, Malik segera mendapat kepercayaan Imam Ali. Ia mendapat SK sebagai Gubernur dan sekaligus untuk pertama kalinya dalam sejarah memperoleh petunjuk administratif menjalankan pemerintahan yang baik, good governance. Ini dokumen pemerintah daerah yang pertama di dalam Islam. Dokumen ini ditulis oleh seorang yang mendapat julukan dari penulis Kristiani Libanon George Jordac, The Voice of Human Justice, shawth al-‘adalah al-insaniyyah.

Di seberang sana, di pihak lawan, ada Muawiyyah, yang menegakkan pemerintahannya di atas kezhaliman dan perampasan hak rakyat. Ketika mendengar pengangkatan Malik, Muawiyyah menyuap seorang kepala daerah untuk menyambut Malik dalam perjalanannya ke Mesir. Dan ia menyambutnya dengan memasukkan racun (mungkin arsenikum) ke dalam minuman bercampur madu. Malik tidak sempat menjalankan perintah kepala negaranya, karena maut keburu menjemputnya.

Muawiyyah gembira mendengar berita itu, ia menyampaikan pidato sukacitanya : “Duhai racun pun telah menjadi tentara Tuhan. Ali bin Abi Thalib punya dua tangan kanan, yang satu Ammar bin Yassir telah dipatahkan di Shiffin. Yang kedua Malik al-Asytar telah kita patahkan sekarang”.

Ali tentu saja berduka cita. Ia berkata, “Malik, Siapakah Malik? Sekiranya Malik sebongkah batu, dialah batu yang keras dan padat. Sekiranya ia karang di samudera, ia karang yang perkasa yang tiada taranya. Seakan-akan kematian telah merenggut nyawaku sendiri.

Ali berduka cita, karena bersama kematiannya hilanglah pelaksanaan dari eksperimen pertama pelaksanaan good gocernance pada pemerintah daerah. Tapi kita patut bergembira karena gagasan Suara Keadilan itu dapat kita bicarakan lagi sekarang dalam konteks yang masih sangat relevan. Saya akan mencantumkan sebagian dari dokumen yang bersejarah ini.

Dokumen Pemda Islam Yang Pertama

Dengan Nama Allah Yang Maha Kasih dan Maha Sayang

Inilah yang telah diperintahkan oleh hamba Allah Ali Amirul Mukminin kepada Malik bin al-Asytar dalam perjanjian atasnya ketika ia mengangkatnya sebagai gubernur di Mesir untuk mengumpulkan pajak, memerangi musuh negara, mensejahterakan penduduk dan memakmurkan negeri.

Angkatlah para pejabat Anda setelah melalui proses pengujian, janganlah sekali-kali memilih orang karena ikatan kasih sayang atau hubungan pribadi, karena keduanya merupakan sumber kezhaliman dan pengkhianatan. Pilihlah di antara mereka orang-orang yang berpengalaman dan memiliki harga diri, dari keluarga yang terkenal kesalehannya dan keutamaannya di dalam Islam. Mereka adalah orang yang paling mulia akhlaknya, yang paling konsekuen dalam menjalankan urusannya, yang paling bersih reputasinya.

Kemudian berilah mereka gaji yang banyak karena gaji itu akan memperkuat mereka dalam memperbaiki diri mereka dan mencukupi keperluan mereka sehingga mereka tidak memanfaatkan apa yang berada dalam tanggung jawab mereka. Selain itu gaji mereka itu akan memperkuat untuk mendakwa mereka jika mereka menentang perintahmu.

Kemudian awasi pekerjaan mereka. Bentuklah tim pengawas dari orang-orang yang jujur dan setia karena pengawasan Anda akan mendorong mereka untuk menjalankan amanat secara setia dan menyayangi rakyat. Berhati-hatilah dengan para pejabatmu, jika salah seorang di antara mereka menjulurkan tangannya untuk berkhianat dan para pengawasmu sudah mengukuhkan penyelewengannya, cukuplah itu sebagai bukti.

Anda harus memberikan hukuman badan kepadanya dan mengembalikan dana yang sudah diselewengkannya, kemudian Anda harus menempatkannya pada keadaan yang memalukannya, memasukkannya dalam daftar hitam pengkhianatan, dan melingkarkan di lehernya kalung kejahatan.

Begitu saya baca dokumen Imam Ali itu saya teringat pada tindakan pemerintah Beijing kepada para koruptor. Ternyata Beijinglah yang menjalankan ajaran Islam ini ketimbang pemerintah Jakarta.

Pendekatan Individu dan Sosial

Di antara petunjuk Imam Ali dalam dokumen di atas kita menemukan pentingnya memilih pejabat yang memiliki akhlak yang mulia. Dan reputasi yang terhormat. Mereka juga harus terkenal tidak serakah dan tamak dalam mengejar kekayaan, semua itu dilakukan agar mereka tidak mengambil hak rakyat untuk kepentingannya sendiri.

Tetapi karakter yang baik saja tidak menjamin kejujuran. Imam Ali menegaskan pentingnya sistem kontrol atau pengawasan yang tidak memberikan peluang kepada para pejabat untuk melakukan penyelewengan. Sistem kontrol atau pengawasan ini harus dilakukan dengan sangat tegas. Ia harus didukung oleh law enforcement yang tidak pandang bulu.

Walhasil, dalam perspektif Islam yang saya sebut, pemecahan dalam untuk penyalahgunaan dana rakyat harus dilakukan dengan pendekatan individual dan sosial sekaligus.

Pendekatan individual harus dilakukan dengan mensyaratkan dua nilai dasar, yaitu

1). Kemampuan (competency, proficiency, expertise)

2). Kejujuran (Integrity, truthworthinesss, truthfulness)

Dalam Islam kejujuran itu diungkapkan dalam dua nilai utama yang menjadi sifat wajib bagi para Nabi, yaitu shidq dan amanat.

Pendekatan sosial dilakukan dengan mengikutsertakan sebanyak-banyaknya pengawas dari masyarakat. Kontrol sosial ini harus ditanggapi oleh pemerintah dengan segera.

Marilah kita mulai dengan sifat shidq dan amanat, saya berikan point-pointnya saja:

Shidq Sifat Para Nabi

Umat beragama harus bergabung dengan orang yang jujur.

Shidq adalah induk segala nilai, kejujuran membawa kita kepada segala kebaikan dan kebaikan itu membawa kita kepada surga kata Rasulullah.

Shidq dan amanat adalah ukuran sejati kesalehan. Saya tertarik untuk merubah paradigma dalam berpikir, menurut Qur'an dan hadits yang saya terima kalau orang tidak jujur dan tidak amanat, Allah akan menghapuskan segala pahala ibadahnya, saya perlu menegaskan sekarang bahwa ibadah-ibadah ritual dapat menghapuskan dosa-dosa perampasan hak rakyat, sehingga para pejabat melakukan korupsi besar-besaran dan memputihkannya dalam pelaksanaan umrah dan haji. Berdasarkan yang saya ketahui justru sebaliknya pelanggaran terhadap hak-hak rakyat dapat menghapuskan seluruh pahala ibadat ritual.

Yang terakhir tanpa menguraikan definisi shidq dan amanat, Shidq adalah kejujuran dalam menerima, mengolah dan menyampaikan informasi, lawan dari shidq adalah kidzb. Nabi Muhammad SAW menguraikan “Jauhilah oleh kamu dusta, karena dusta membawa kamu kepada kedurhakaan dan neraka”. Termasuk dusta adalah upaya untuk melakukan manipulasi dalam penerimaan, pengolahan dan penyampaian informasi.

Transparansi anggaran adalah salah satu bentuk shidq. Menyembunyikan anggaran sebaliknya adalah bentuk kebohongan yang paling jelas. Dalam kaidah ushul fiqh ditegaskan: ma la yatimmul wajib illa bih fahuwa wajib, kalau kewajiban tidak bisa dijalankan kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajib.

Shidq adalah kewajiban. Dalam pengelolaan anggaran kejujuran ini tidak bisa dijalankan kecuali dengan transparansi. Berdasarkan kaidah itu, maka menjalankan transparansi anggaran adalah wajib. Ini berarti, dalam pandangan Islam, menghindari transparansi anggaran adalah kemaksiatan yang dapat menghapuskan semua pahala ibadat kepada Tuhan.

Shidq berkaitan dengan amanat, Bila shidq berkaitan dengan proses informasi anggaran, amanat berkaitan dengan kesetiaan untuk mengalokasikan dan menditribusikan anggaran kepada yang berhak –dalam istilah Islam, menyampaikan amanat kepada ahlinya. Untuk mengontrol shidq dan amanat, diperlukan sistem pengawasan. Dengan menggunakan istilah para ahli ushul fiqh, kita dapat menyimpulkan bahwa pengawasan wajib karena shidq dan amanat tidak dapat berjalan tanpanya. Pengawasan tidak dapat dilakukan dengan baik tanpa transparansi anggaran.

Walhasil, dalam perspektif Islam, menegakkan transparansi anggaran adalah kewajiban agama yang mulia. Ia bukan saja menghantarkan manusia kepada berbagai kebajikan, tetapi juga menghantar mereka pada surga yang dijanjikan. Secara duniawi, transparansi anggaran dalam kata-kata Imam Ali adalah upaya “memerangi musuh negara, mensejahterakan penduduk dan memakmurkan negeri.

Saya ingin menggarisbawahi dari seluruh bahasan tadi, just one sentence: Meninggalkan transparansi anggaran adalah kemaksiatan yang dapat meghapuskan seluruh pahala ibadah kita.[]


Baca selengkapnya......