Jumat, 07 September 2007

Ramadhan: Bulan Tuhan dan Bulan Persaudaraan

“Wahai manusia, sudah datang kepada kalian bulan Tuhan yang membawa berkat, rahmat, dan ampunan; bulan yang paling utama di sisi Tuhan dari bulan mana pun. Paling utama hari-harinya, malam-malamnya, bahkan jam demi jamnya. Inilah bulan ketika kalian diundang untuk menjadi tamu-tamu Tuhan. Di bulan ini, kalian dijadikan orang-orang yang berhak memperoleh jamuan Tuhan. Di bulan ini, nafas kalian menjadi tasbih, tidur kalian ibadat, amal kalian diterima, dan doa kalian dijawab. Mohonlah kepada Allah dengan niat yang tulus dan hati yang bersih, supaya Dia membimbing kamu untuk menjalankan puasanya dan membaca Kitab-Nya. Malanglah orang yang tidak mendapat ampunan Tuhan di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan lapar dan dahaga kamu di bulan ini lapar dan dahaga pada hari kiamat. Bersedekahlah kepada fakir miskin. Muliakan para pemimpin kamu dan kasih-sayangi orang-orang kecil di antara kamu. Sambungkan persaudaraan kamu. Pelihara lidah kamu. Jagalah dirimu agar kamu tidak melihat apa yang tidak boleh kamu lihat dan tidak mendengar apa yang tidak boleh kamu dengar. Sayangilah anak-anak yatim orang lain supaya Tuhan menyayangi anak-anak yatim kamu.”

Bulan Tuhan

Inilah khotbah Nabi saw ketika menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Bulan ini menjadi bulan yang agung karena dinisbatkan kepada Tuhan. Tuhan bukan hanya Wujud yang kepada-Nya kita haturkan persembahan dan kita mohonkan pertolongan. Dalam Al-Quran, Tuhan adalah kampung halaman kita, tempat kembali kita. “Kepada Allah kamu semua kembali.” (QS. Al-Maidah: 48) Dalam bahasa Jalaluddin Rumi, Sufi penyair dan penyair Sufi, Tuhan adalah “rumpun bambu” kita, sedangkan kita adalah seruling bambu yang tercerabut dari rumpunnya. Penderitaan kita yang berkepanjangan karena mengejar keinginan kita sebetulnya hanyalah jeritan pilu karena kerinduan untuk kembali kepada-Nya. Manusia adalah “anak-anak Tuhan” yang dikeluarkan dari rumah-Nya untuk bermain-main di halaman dunia ini (Sesungguhnya, kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan hiburan- QS. Al-An’am: 32). Karena itu, Ka’bah disebut rumah Tuhan, karena ke sanalah para jemaah haji berangkat, meninggalkan segala urusan dunia mereka. Ramadhan disebut bulan Tuhan, karena pada bulan itulah kita pulang, kita meninggalkan halaman permainan kita.

Selama kita asyik bermain, kita sibuk membeli “jajanan” yang bermacam-macam: Kekayaan, kekuasaan, kemasyhuran, atau sebutlah apa saja yang Anda ingat. Kita lupa bahwa ada makanan lain yang jauh lebih sehat dan lebih lezat. Pada bulan Ramadhan Tuhan mempersiapkan jamuan-Nya dan Anda diundang untuk menjadi tamu-Nya.

Keasyikan bermain itu digambarkan Rumi dengan indah: “Di atas makanan yang kamu makan untuk memelihara tubuh-Mu, ada makanan yang lain seperti yang dikatakan Nabi, ‘Aku habiskan malamku bersama Tuhanku, dan Dia memberikan makanan dan minuman kepadaku’. Di dunia ini, kamu telah melupakan makanan lain itu. Kamu sibuk mengunyah makanan dunia ini. Siang dan malam kamu hanya menyuapi tubuhmu. Tubuh ini hanyalah kudamu dan dunia ini kandangnya. Makanan kuda tidak cocok untuk penunggangnya; kuda memelihara dirinya dengan caranya sendiri.

“Karena kamu tenggelam dalam watak kebinatangan kamu, kamu tetap tinggal di istal bersama kuda dan tidak punya tempat di antara para raja dan pangeran dari dunia tempat hatimu bertahta. Karena tubuhmu yang berkuasa, kamu harus mematuhi perintah tubuh. Kamu terpenjara karenanya, seperti Majnun ketika berangkat menuju negeri Laila. Selama ia sadar, ia mengarahkan untanya ke arah yang benar. Ketika ia tenggelam dalam lamunan kepada Laila, ia melupakan dirinya dan untanya. Sang unta, yang meninggalkan anak di desanya, segera balik arah ke kampung halamannya. Ketika Majnun sadar, ia melihat ia telah bergerak salah jalan selama dua hari. Begitulah ia, bolak-balik selama tiga bulan, sehingga akhirnya ia berteriak, “Unta ini menjadi laknat bagiku!” Sambil berkata begitu, ia meloncat dari untanya dan meneruskan perjalanannya sendiri: Keinginan untaku di belakangku. Sedang keinginanku sendiri jauh di muka. Dia dan daku sesungguhnya bertentangan (Fihi ma Fihi).”

Kita suapi unta kita; padahal ia hanya membawa kita ke kandang binatang. Kita lupa memberi makan ruh kita; padahal ia akan membawa kita ke haribaan Dia. Kita Penunggang unta yang punya tujuan yang berbeda dengan tujuan unta yang kita tunggangi. Dalam tulisan lain, yang berjudul Kerinduan, Rumi menyuruh kita untuk menjadi Yesus di punggung keledai kurus:

“Yesus di atas keledai kurus; inilah lambang akal yang harus mengendalikan tabiat hewaniah. Perkuat rohmu seperti Yesus. Jika bagian itu lemah, keledaimu yang kerempeng akan berubah menjadi naga perkasa. Berterimakasihlah ketika apa yang tampak kasar datang padamu dari orang bijak. Sekali waktu, seorang suci, sambil mengendarai keledainya, melihat ular merayap masuk ke mulut seorang yang sedang tertidur! Ia memburu dengan cepat tapi tidak berhasil mencegah ular itu. Ia pukuli orang yang tidur itu berkali-kali dengan tongkatnya. Orang itu terbangun ketakutan dan lari ke bawah pohon apel, dengan apel-apel busuk bertebaran di atas tanah.


‘Makanlah! Hai orang malang, makanlah!’
‘Kenapa kau lakukan ini padaku?’
‘Ayo makan lagi, kamu tolol.’
‘Saya tidak pernah berjumpa dengan kamu sebelumnya! Siapakah kamu ini? Apakah dalam batinmu kamu memusuhi jiwaku?’


Orang arif itu memaksanya untuk makan, dan ia mencoba lari daripadanya. Berjam-jam ia memukuli orang malang itu dan membuatnya lari. Akhirnya, di malam hari, dalam perut yang penuh dengan apel busuk, kelelahan, dan bergelimang darah, ia jatuh dan memuntahkan semuanya, yang baik dan yang buruk, apel dan ular. Ketika ia melihat ular yang buruk keluar dari dirinya, ia bersimpuh di hadapan penyiksanya.

‘Apakah kamu Jibril? Apakah kamu Tuhan? Penuh berkahlah saat ketika kamu pertama melihatku. Waktu itu aku sudah mati dan tidak menyadarinya. Kau berikan kepadaku kehidupan baru. Semua yang aku katakan padamu itu memang tolol! Aku tidak menyadarinya.’

Jika aku jelaskan apa yang aku lakukan, kamu mungkin akan panik dan mati ketakutan. Muhammad berkata: Jika aku menceritakan musuh yang tinggal dalam diri manusia, manusia yang paling berani sekali pun akan menjadi lumpuh. Tak ada yang bisa keluar atau mencari nafkah. Tak akan ada yang salat atau puasa, dan semua kekuatan untuk berubah akan menghilang dari diri manusia.

Karena itulah, aku diam ketika aku memukulimu sehingga seperti Daud aku dapat melunakkan besi, sehingga walaupun mustahil, aku dapat meletakkan kembali bulu-bulu pada sayap burung. Diamnya Tuhan diperlukan karena kelemahan hati manusia. Jika aku tadi mengabarkan kepada kamu tentang ular itu, kamu tidak bakalan mampu makan dan sekiranya kamu mampu makan pun, kamu tidak akan memuntahkannya. Aku lihat keadaanmu dan aku dorong keledaiku ke tengah-tengahnya sambil bergumam, ‘Tuhanku, mudahkanlah urusan dia.’ Aku tidak diizinkan mengabarkan kepadamu dan aku tak diizinkan berhenti memukul kamu.’Orang yang disembuhkan itu, masih sambil berlutut, berkata, ‘Aku tidak mampu berterima kasih kepadamu atas kecepatan kearifanmu dan kekuatan petunjukmu. Semoga Tuhan membalasmu.”

Kedatangan Ramadhan adalah kedatangan orang arif dalam cerita Rumi. Ramadhan memukuli kita dengan lapar dan dahaga, agar nanti kita tidak menderita pada hari akhir. Kita dipaksa untuk memuntahkan jajanan kita, untuk kesehatan dan keselamatan kita. Nabi bersabda, “Tidak akan masuk kerajaan langit orang yang memenuhi perutnya.” Tidak akan masuk Rumah Tuhan, orang yang setiap harinya hanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiknya. Ular hawa nafsu sudah bersarang dalam dirimu; dan kamu tetap saja tidur lelap. Orang yang tidak sadar bahwa ia tenggelam, tidak akan berusaha menggapai pegangan. Orang yang tidak tahu bahwa rumahnya terbakar tidak akan berusaha menghubungi petugas kebakaran. Orang yang menderita gangguan psikologis tidak merasa sakit, dan karena itu tidak mencari dokter.

Bulan Rekonsiliasi

Ramadhan adalah tali yang diulurkan Tuhan kepada orang yang tenggelam, air yang disemprotkan Tuhan pada rumah yang terbakar, dan dokter yang memberikan terapi kepada penderita gangguan jiwa. Menurut Al-Quran, sumber segala derita manusia adalah kekalahannya melawan hawa nafsunya. Hawa nafsu itu, dalam konsep para sufi, adalah dimensi kebinatangan dalam diri kita. Pernahkah Anda melihat iklan salah satu pesawat telepon, yang menampilkan para tokoh dunia dengan perilaku kekanak-kanakannya. Dalam diri setiap orang, ada jiwa kanak-kanak. Dalam diri setiap manusia, juga ada jiwa kebinatangannya. Di dalamnya, ada jiwa binatang buas, yang mengubah masyarakat menjadi pertarungan tanpa henti antara sesama serigala. Tidak jadi soal, apakah Anda militer, politisi sipil, atau sekedar pejabat daerah, dengan jiwa ini Anda akan berusaha untuk menang at any cost. Anda tidak peduli lagi dengan jumlah korban dan besarnya kerusakan. Jika Anda hanyalah orang kecil, dengan jiwa binatang buas ini, Anda akan menumpahkan kemarahan dengan memberontak semua aturan, menolak semua kekuasaan, dan menentang setiap kompromi. Filsafat binatang buas dirumuskan oleh Lunatsarsky, ideolog komunis yang menyimpang: “Jauhkan cinta sejauh-jauhnya. Apa yang kita butuhkan adalah kebencian. Hanya dengan kebencian kita akan berhasil menguasai dunia.”

Di dalamnya, juga ada jiwa binatang ternak, yang mengubah homo sapiens menjadi homo economicus. Bila jiwa ini mengatur orang-orang kaya, mereka akan menjadi makhluk yang rakus, bakhil, tidak peduli dengan penderitaan orang lain. Pada akhirnya, ia juga tidak peduli dengan penderitaannya sendiri. Pada orang-orang miskin, jiwa bintang ternak ini akan menjadikan mereka seperti kerbau yang ditusuk hidung. Demi sesuap nasi, mereka akan menjual kehormatannya, agamanya, dan hati nuraninya. Kedua-duanya, kata Rumi, akan menjadi bebek yang melambangkan “kerakusan, paruhnya selalu di tanah, mengeruk apa saja yang terbenam: basah atau kering; tenggorokannya tak pernah santai satu saat pun. Ia tidak mendengar firman Tuhan selain Makan minumlah! Seperti penjarah yang merangsek rumah dan memenuhi kantongnya dengan cepat. Ia memasukkan ke dalam kantongnya, baik dan buruk, permata atau kacang, tiada beda.” (Matsnawi)

Namun, kebintangan hanyalah satu sisi dari kepribadian manusia. Di samping insan bahimi, manusia binatang, ia juga menyimpan sifat-sifat ketuhanan; dan karena itu, ia sekaligus insan malakuti. Manusia mempunyai kaki yang berdiri kokoh di atas bumi dan kepala yang menjulang ke langit. Dalam diri manusia selalu terjadi pertarungan antara -apa yang dilukiskan Robert Stevenson- Mr. Jekyll dan Mr. Hyde, antara insan bahimi dan insan malakuti. Pada suatu hari, Nabi saw melihat anak-anak muda sedang bertanding mengangkat batu. Ia memuji mereka seraya berkata, “Manusia yang paling perkasa ialah yang sanggup mengendalikan dirinya.” Manusia paling kuat adalah Mr. Jekyll yang menaklukkan Mr. Hyde.

Ramadhan datang untuk memenangkan insan malakuti. Nabi saw memberikan nasihat agar di bulan ini kita mengubah pola hubungan kebinatangan yang berdasarkan kebencian dan permusuhan dengan pola ketuhanan yang berdasarkan cinta dan silaturahmi. Ketimbang mengejar-ngejar kemenangan, yang selalu berakhir dengan kekalahan, daripada memburu keberuntungan, yang selalu berujung pada kemalangan, mengapa tidak kita cari keadilan dan persaudaraan. Baik kepada rakyat kecil maupun para pembesar, Nabi berkata, “Bersedekahlah kepada fakir miskin. Muliakan para pemimpin kamu dan kasih-sayangi orang-orang kecil di antara kamu. Sambungkan persaudaraan kamu. Sayangilah anak-anak yatim orang lain supaya Tuhan menyayangi anak-anak yatim kamu.”

Jalaluddin Rakhmat


Tidak ada komentar: