Kali ini kita akan menempuh perjalanan mencari hikmah, dengan menyusuri jejak-jejak orang bijak sepanjang sejarah. Salah seorang bijak itu adalah Mulla Nasruddin. Sufi yang mengajarkan kebenaran melalui kisah dan lelucon. la menyuruh kita menertawakan diri dengan cerita-cerita lucunya.
Mulla Nasruddin seperti Bahlul di Timur tengah, atau Kabayan di tanah Sunda. Dengan keluguannya, ia wariskan kebijakan dan kearifan. Berikut adalah salah satu kisah Nasruddin yang dikutip dari The Exploits of The Incomparable Nasruddin, buku yang disusun oleh seorang sufi abad akhir, Idries Shah.
Alkisah, para filusuf, ahli ilmu mantiq, dan ahli hukum berkumpul di istana. Mereka bergabung untuk menginterogasi Nasruddin. Perkara Nasruddin telah dianggap sebagai sebuah kasus yang amat serius. Persoalannya adalah; Nasruddin seringkali datang ke berbagai tempat meneriakkan satu khotbah yang sama. Dalam khotbahnya itu, ia menyebut orang-orang berilmu, seperti para filusuf, sebagai mereka yang bodoh, kebingungan, dan tak bisa mengambil keputusan. Tentu saja, ceramah Nasruddin ini dianggap subversif dan mengganggu ketertiban negara.
Singkat cerita, mereka yang merasa tersinggung meminta Raja untuk mengadili Nasruddin. Digelarlah sebuah pengadilan dengan Nasruddin sebagai terdakwa tunggal. "Hai Nasruddin," ucap Raja, "kau mendapat giliran untuk bicara terlebih dahulu."
Nasruddin lalu meminta agar dibawakan beberapa lembar kertas dan pena. Setelah itu ia berkata, "Tolong bagikan kepada para pakar yang ada di ruangan ini, masing-masing secarik kertas dan sebilah pena."
Setelah setiap orang pakar mendapatkan kertas dan pena, Nasruddin berkata lagi, "Aku mohon kepada setiap ahli untuk menuliskan di atas kertas itu jawaban untuk pertanyaan ini; Apa yang disebut dengan roti?"
Setiap cerdik cendekia yang ada di tempat itu lalu menuliskan apa yang mereka ketahui tentang roti. Jawaban para pakar itu lalu dikumpulkan dan diserahkan kepada Raja. Raja pun membacanya satu demi satu.
Orang bijak pertama menulis, "Roti adalah sebuah makanan." Si bijak kedua menjawab, "Roti adalah tepung bercampur dengan air." Si bijak ketiga menulis, "Roti adalah karunia Tuhan." Si bijak selanjutnya menjawab, "Roti adalah terigu yang telah dimasak." Orang berikutnya menulis, "Roti merupakan makanan bergizi." Dan demikian seterusnya. Setiap orang yang terkenal pandai itu, menulis jawaban yang berbeda-beda, masing-masing bergantung pada pemaknaan mereka akan sebuah roti. Salah seorang dari mereka bahkan menulis, "Tak ada seorang pun yang tahu sebenarnya apa yang dimaksud dengan roti."
Setelah mendengar semua jawaban itu, Nasruddin berkata kepada sang Raja, "Ketika mereka dapat menentukan apa yang disebut sebagai roti, barulah mereka bisa menentukan hal-hal selain roti. Misalnya, menentukan apakah khotbahku benar atau tidak."
la melanjutkan, "Dapatkah Baginda mempercayakan urusan penilaian atau keputusan kepada orang-orang seperti ini? Bukankah amat aneh bila mereka tidak sepakat akan sesuatu yang mereka makan setiap hari, tetapi mereka sepakat untuk menentukan bahwa aku seorang ahli bid'ah?"
Cerita Nasruddin di atas sebetulnya merupakan sebuah sindiran orang-orang sufi kepada mereka yang merasa bijak, mereka yang sibuk mempelajari agama lalu ramai berdebat untuk memutuskan mazhab mana yang benar dan mana yang sesat. Bukankah ketika kita belajar fikih, kita dihadapkan kepada berbagai perbedaan pendapat. Kita akan dianggap orang yang paling pandai apabila kita bisa mengetahui segala pendapat yang berbeda itu, lalu memutuskan bahwa pendapat kitalah yang paling benar.
Mulla Nasruddin memberikan pelajaran kepada para pemikir, pakar agama, ahli fikih, dan para filusuf tentang hal itu dengan cara yang amat halus. Menurutnya, mereka yang berilmu itu sebetulnya hanyalah orang-orang jahil, yang kebingungan dan tak bisa mengambil keputusan. Bagaimana kita dapat mempercayakan penilaian tentang orang lain kepada orang-orang seperti itu, bila dalam urusan sepele seperti roti saja, mereka tak bisa mengambil keputusan?
Kisah Nasruddin seakan hendak menyampaikan kepada kita semua bahwa di atas keberagamaan yang dipecah-pecah ke dalam berbagai mazhab itu, terdapat satu keberagamaan yang disepakati bersama. Seseorang akan menjadi lebih arif apabila ia meninggalkan hal yang dipertengkarkan dan memasuki satu hal yang disetujui bersama.
Tidaklah mungkin bagi kita untuk membuat semua orang berpendapat sama tentang cara bagaimana menjalankan keberagamaan yang benar. Banyak orang mengatakan ikhtilaf dalam agama akan segera berakhir bila kita kembali pada AI-Quran dan sunnah Rasulullah saw. Mereka lupa bahwa ketika para ulama kembali merujuk pada Al-Quran dan sunnah, di situlah dimulai perdebatan dan perbedaan pendapat.
Masalah tayamum, misalnya. Ketika para ulama kembali kepada Al-Quran untuk membaca ayat tentang tayamum, mereka akan mengambil kesimpulan yang berbeda berdasarkan penafsiran masing-masing.
Hampir semua ulama sepakat akan hadis Nabi, "Mandi pada hari Jumat adalah wajib bagi setiap orang yang telah dewasa." Tapi dari satu hadis ini saja, terdapat tak kurang dari tujuh mazhab yang menafsirkan ketentuan ini. Setiap mereka mengklaim bahwa pendapat merekalah yang paling sahih.
Seringkali orang awam dibingungkan oleh perbedaan pendapat antar ulama. Terkadang kebingungan itu berujung pada frustrasi; tak tahu harus menjalankan keberagamaan yang mana. Bila ia ikuti mazhab yang satu, mazhab yang lain akan menganggapnya sesat.
Kepada mereka yang kebingungan, Nasruddin berkata, “Janganlah kau ikuti berbagai macam pendapat yang ada. Kau takkan mungkin dapat mempersamakan para ulama itu." Para ulama yang berbeda paham tersebut hanya mencapai bagian luar dari ajaran agama. Dimensi eksoteris agama akan selalu menghasilkan perbedaan pendapat. Namun bila kita menukik lebih dalam lagi, ke substansi dari ajaran agama, semua mazhab akan menemukan titik temu.
Ke sanalah para sufi menuju. Meskipun demikian, jalan sufi bukan berarti meninggalkan syariat yang dirumuskan berlainan oleh para ulama. Jalan sufi hanya mengungkap bahwa di balik perbedaan syariat itu, terdapat persamaan tarikat dan hakikat.
Secara sederhana, semua ini mengajarkan kepada kita untuk tidak menilai keberagamaan seseorang dari pendapatnya yang bermacam-macam, tetapi dari amal salih yang ia lakukan. Bukankah dalam AI-Quran, Allah swt berfirman, "Dan masing-masing orang memperoleh derajat yang sesuai dengan amalnya. " (QS. AI-An'am; 132)
Janganlah kita lihat saudara-saudara kita dari mazhab yang mereka anut, tapi marilah kita ukur mereka dari akhlak dan amalnya; dari kontribusi mereka bagi kepentingan kaum muslimin dan seluruh manusia. Diriwayatkan dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda, "Yang paling baik di antara kamu, ialah yang paling bermanfaat bagi sesamanya." Dalam hal ini, semua ulama sepakat; orang seperti itulah yang paling utama, apapun mazhabnya.
(Jalaluddin Rahmat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar