Selasa, 04 Desember 2007

Semangat Pluralisme dalam Surat A1-Maidah Ayat 67, 68, 69

Saya mulai pengajian hari ini dengan membaca beberapa ayat dan Surat Al-Maidah ayat 67, 68, dan 69. Sebetulnya yang ingin saya bahas adalah ayat 69 saja, tetapi para ulama ahli tafsir sering merangkai tiga ayat ini sebagai kesatuan dimulai dan ayat 67 dan diakhiri dengan ayat 69. Saya ingin memulai dengan ayat 69 dulu dalam terjemahannya.

"Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, Shabi’in dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." Ayat ini menunjukkan bahwa di hadapan Allah Swt, agama Islam, agama Yahudi agama Nasrani, agama Shabi’in (selain Yahudi dan Nasrani) nama-nama semuanya bisa mengantarkan kita kepada Allah Swt sepanjang kita penuhi tiga syarat: beriman kepada Allah, hari pertanggungjawaban dan beramal sholeh. Bagi yang mengamalkan tiga syarat ini tidak ada rasa takut kepada mereka dan tidaklah mereka berduka cinta

Ayat ini diulang tiga kali di dalam Al-Quran. Pertama dalam surat Al-Baqarah ayat 69 dan kedua di dalam surat Hajj ayat 17. Ayat ini sering membingungkan saudara-saudara kita termasuk mungkin Anda semua. Ayat ini dengan jelas mengatakan bahwa orang Yahudi, orang Nasrani,orang Shabi’in akan selamat di hadapan Allah Swt. Amal-amal mereka akan diterima Allah Swt kalau mereka beriman kepada Allah, kepada hari akhir dan beramal soleh.

Syarat keselamatan itu tiga. Tidak jadi soal apakah agamanya itu Yahudi, Nasrani, dan atau Shabi’in. Pendapat seperti ini tidak mengenakan kita karena biasanya orang akan mengatakan, "Untuk apa kita beragama Islam kalau yang beragama lain pun akan diterima Allah Swt?" Ada juga orang yang bingung karena menghubungkan ayat Surat Al-Maidah 69 ini dengan ayat lain "Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam;" atau "Siapa yang mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang rugi."

Asbab al-Nuzul AI-Maidah 67

Sebelum membicarakan ayat ini lebih lanjut mari kita kembali kepada Al-Maidah ayat 67, dua ayat sebelumnya Ayat ke 67 sebetulnya berkaitan dengan Imam Ali as. Pada tanggal 21 Ramadhan tokoh suara keadilan manusia itu syahid. Dua bulan sebelumnya, ketika ia shalat shubuh, seorang peserta shalat meloncat dari belakang dan menebas kepala imam Ali dalam keadaan sujud. Orang yang membunuh Imam Ali itu adalah seorang muslim, bahkan ia termasuk kelompok yang pernah mengikuti beliau. Bahkan ketika Imam Ali masuk ke masjid waktu malam, Ia melihat pembunuh itu tidur di masjid dengan bertelumpuk, Imam Ali membangunkan dia dan melarangnya untuk tidur bertelumpuk. Sebuah anjuran demi kesehatan dia. Kemudian Imam Ali melakukan salat Subuh. Itulah salat Subuhnya yang terakhir sebagai imam jamaah. Beliau tersungkur di mimbar. Jadilah Imam Ali syahid mihrab yang pertama di dalam sejarah Islam. Syahid mihrab adalah orang yang gugur di mihrab masjidnya dalam keadaan terbunuh.

Ketika beliau ditebas, darah mengalir dari kepala bagian atasnya membasahi kumis dan janggutnya. Persis seperti diramalkan Rasulullah Saw. Dahulu, di zaman Nabi, Rasulullah pernah berkumpul bersama para shabatnya kemudian beliau meminta surat wasamsi waduhaha. Ujung surat itu adalah ayat yang berbunyi, "ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka, lalu Rasul Allah (Saleh as) berkata kepada mereka: ("Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya" Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, maka Tuhan membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyama-ratakan mereka (dengan tanah)." Ketika turun ayat ini Rasulullah berkata "Orang Yang paling jahat di zaman dahulu membunuh unta nabi Shaleh, kemudian Allah menurunkan azab-Nya kepada mereka Dan orang yang paling jahat di umatku nanti akan membunuh Ali dan membasahi janggutnya dengan darah dari kepalanya"

Sejak syahidnya Imam Ali kaum Muslimin dirundung kemalangan demi kemalangan. Tidak henti-hentinya mereka diperintah oleh penguasa yang zalim. Mungkin karena mereka membunuh Imam Ali (pada malam-malam qadar?) maka selama seribu bulan mereka diperintah oleh penguasa yang zalim. Setejah itu agama dikacaukan, kebenaran disembunyikan. Orang mengajarkan agama Islam yang tampak asli tapi sebetulnya palsu. Itu terus terjadi selama seribu bulan. Allah ingin membuktikan kebenaran Al-Quran yang turun pada malam qadar bahwa kebenaran akan menang di atas kekuasaan dinasti Umayyah yang ber1angsug selama seribu bulan.

Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa malam qadar itu lebih baik dari seribu bulan. Jadi turunnya Al-Quran di bulan Ramadhan itu jauh lebih bernilai dibandingkan dengan seribu bulan pemerintahan dinasti Umayyah yang mengacaubalaukan agama.

Kebenaran Al-Quran akan terus bertahan karena pendamping Al-Quran adalah Ahlul Bait Nabi.

Adanya penyimpangan yang jauh dalam agama Islam dikarenakan mereka telah membunuh manusia yang paling saleh setelah Rasulullah Saw.

Orang yang menbunuh Imam Ali begitu juga orang yang berkhianat kepada beliau tahu betul bahwa surat Al-Maidah ayat 67 turun berkenaan dengan Imam Ali. "Hai Rasul sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu Dan jika tidak kamu kerjakan (apa Yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanatNya Allah memelihara kamu dan (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir "Ada ayat lain Yang berkenaan dengan ayat ini. Saya ambil dari Tafsir Al-Manar yang ditulis oleh Sayyid Rasyid Ridha. Beliau dalam tafsir Syekh Muhammad Abduh. Buat anda semua yang hidup pada pergerakan Islam sekarang mungkin belum kenal dengan yang namanya Sayyid Rasyid Ridha atau Syekh Muhammad Abduh kecuahi kalau Anda anggota Muhammadiyah yang menjalani training. Sekolah Sejarah Gerakan Pembaharuan Islam.

Alkisah datang ke Mesir seorang ulama besar dari Iran. Namanya Sayyid Jamaluddin Al-Afghani. Ia mengaku sebagai seorang pengikut mazhab Hanafi. Ia berkeliling ke seluruh negeri Islam yang waktu dulu berada dalam penjajahan. Ia mendorong mereka untuk bergerak melawan kekuasaan Barat. Ia berikan semangat perlawanan di berbagai negeri yang didatanginya. Sampailah dia ke Mesir. Di Mesir ia mempunyai murid yang sangat cerdas, Syekh Muhammad Abduh. Syekh Muhammad Abduh mengajarkan tafsir, seperti saya, majelis-majeisnya seluruh tafsir Syekh Muhammad

Abduh itu dikumpulkan dicatat oleh murid-muridnya dan kemudian diberikan komentar tambahan oleh Sayyid Muhammad Rasyid Ridha.

Tulisan itu kemudian dimuat dalam majalah Al-Manar. Tafsir Syekh Muhammad Abduh kata sebagian orang, di-"wahabi"-kan oleh Sayyid Muhammad Rasyid Ridha. Tafsir dari majalah Al-Manar itu sampailah ke Tuban. Dari pelabuhan Tuban sampailah ke tangan seorang kiai Jawa yang sederhana, namanya Kyai Haji Ahmad Dahlan. Tulisan tafsir Al-Manar itu menggetarkan beliau dan mendorong beliau untuk mendirikan persyarikatan yang bertahan sampai sekarang, yaitu persyarikatan Muhammadiyah. Jadi Tafsir Al-Manar ini mempengaruhi dunia Islam dan pembaharuan.

Kenapa saya bicara tentang itu? Karena orang-orang Muhammadiyah orang-orang Persis, dan saudara-saudara kita dari Hizbu Tahrir, Majelis Mujahidin Indonesia dan sebagajnya yang sering dianggap sebagai kelompok pembaharu, menolak ayat Al-Ma’idah 67 ini turun tentang Imam Ali.

Menurut mereka ayat ini tidak turun tentang Imam Ali. Bahkan mereka ayat ini turun pada permulaan dakwah Nabi. Jadi Nabi diperintahkan untuk berdakwah. Mulai semula, kata mereka, Nabi diperintahkan berdakwah sembunyi-sembunyi kemudian turunlah ayat ini, Hai Rasul sampaikan apa yang disampaikan kepadamu itu secara terbuka Sebab kalau tidak kamu sampaikan secara terbuka, berarti kau tidak menyampaikan risalah Dia. Allah akan melindungi kamu dari gangguan manusia." Ayat ini turun di Makkah pada permulaan dakwah. Itu menurut pengikut Syekh Muhammad Abduh dan Sayyid Rasyid Ridha di Indonesia. Tapi mereka lupa bahwa ayat ini Madaniyyah karena terletak pada surat AJ-Maidah dan semua ulama sepakat bahwa ayat ini adalah ayat Madaniyyah. Ketika disampaikan kritik itu, ada jawaban juga dan mereka. "Bahwa dengan mengutip tafsir dan Abd bin Hamid, Ibnu Jarir Ibnu Abi Hatim, Abu Syekh dari Mujahid bahwa ayat ini turun pada permulaan Islam dimulai dengan tabligh pada keseluruhan orang. "Kalau begitu, kenapa ditempatkan di ujung surat Madaniyyah yang turun di Madinah, kan itu tidak masuk akal? Ayatnya turun di Madinah padahal tablighnya dilakukan di Makkah pada awal kenabian. Masih kata mereka, ini hanya ditempatkan di ujung ayat-ayat madaniyyah untuk mengingatkan kembali pada tugas dakwah itu. Ini argumentasi yang sangat rapuh.

Riwayat-riwayat dan Tafsir Al-Manar

Adapun pendapat Muhammadiyyah tentang ayat di atas, sejauh dan apa yang diambil dan Syekh Muhammad Abduh dan Sayyid Rasyid Ridha dalam tafsir Al-Manar, saya mengutip bahwa kitab itu yang mengatakan bahwa ayat ini turun pada hari Ghadir Khum berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib. Peristiwa hadis Ghadir Khum diriwayatkan di dalam Tafsir al-Manar juz ke 6 halaman 164.

Di Ghadir Khum Nabi memulai dengan dialog, "Apakah kalian aku sebagai pemimpin kalian? Apakah aku sudah menyampaikan apa yang Allah peerintahkan untuk aku sampaikan? Apakah kalian menganggap aku lebih diutamakan dan diri kalian sendiri?" Semua menyaksikan dan mengiyakan. Kemudian Rasulullah memanggil Ali, berdiri di atas mimbar pelana kuda dan unta itu. Beliau angkat tangan kanan Ali seraya berkata, "Siapa yang menganggap aku sebagai pemimpin hendaklah menerima Ali sebagai pemimpinnya." Sebelum Rasulullah memerintahkan sahabatnya itu, Jibril turun menyampaikan kepada Rasulullah surat Al-Maidah ayat 67 ini.

Di dalam Tafsir Al-Manar juga diriwayatkan hadis ini, "Sesungguhnya peristiwa pengangkatan Imam Ali sebagai pemimpin itu menyebar luas di seluruh negeri. Sampailah berita kepada salah seorang tokoh kabilah, kepala suku yang bernama Harif Ibnu itu Nukman Al-Fikri. Dia mendatangi Nabi pada untanya, beliau masih berada Abthoh (nama lain bagi kota Makkah). Dia turun dan untanya dan dia berkata kepada Nabi ketika beliau sedang berada di tengah-tengah sahabatnya: ‘Hei Muhammad kauperintahkan kami untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah, kami terima itu semua darimu. Kauperintahkan juga kami untuk melakukan shalat lima waktu, kami lakukan, kami terima. Kau perintahkan kami haji ke Baitullah, kami terima. Dan engkau Muhammad tidak merasa senang dengan semua ini sampai engkau angkat lengan putra pamanmu dan engkau utamakan dia di atas kami dan engkau berkata ‘siapa yang menerima aku sebagai pemimpin hendaknya terima Ali sebagal pemimpin’ apa yang kau ucapakan ini berasal dari kepentingan kamu atau berasal dari perintah Allah? Rasulullah menjawab singkat: Demi Allah yang tidak ada Tuhan kecuali Dia, ini semua adalah perintah Allah.’ Maka Harif berpaling menuju kepada kendaraannya sambil berdoa, "Ya Allah jika yang diucapkan Muhammad itu benar, maka turunkan kepadaku batu dan langit, datangkan kepada kami azab yang pedih." Belum sampai dia ke untanya sebuah batu diturukan Tuhan dan langit masuk ke ubun-ubunnya dan keluar dan duburnya. Sayyid Rasyid Ridha meriwayatkan hadis ini di dalam tafsir Al-Manar, tetapi di ujung tiba-tiba setelah selesai dia mengutip itu, dia berkata, "Hadis ini dibuat-buat" sambil tidak menjelaskan siapa yang membuat hadis itu. Padahal sebelumnya dia sebutkan bahwa hadis ini terdapat di dalam berbagai riwayat. Kalau ada sanadnya itu tidak dibuat-buat, paling-paling harusnya hadis ini dha’if karena ada orang yang namanya ini dan itu dan dia pendusta. Mestinya begitu. Mestinya ada pertanggungjawaban ditinjau dari ‘ulumul hadis. Mungkin karena tidak bias membuktikan kedha’ifan hadis itu, maka cukuplah dikatakan kepadanya, "hadis ini dibuat-buat." Sekali lagi, sayangnya, tanpa alasan yang jelas.

Masih kata Sayyid Rasyd Ridha. "Dalam riwayat lain Nabi berkhotbah di hadapan manusia kemudian beliau menyebut pokok-pokok agama dan berwasiat kepada umatnya untuk mengikut Ahlul Baitnya lalu beliau bersabda, ‘Aku sudah tinggalkan bagi kalian dua pusaka, kitab Allah dan Ahil Baitku. Maka perhatikanlah bagaimana kamu menjaga keduanya karena keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya datang kepada-Ku di telaga.’ Allah pelindungku dan aku adalah wali setiap mukmin. Kemudian beliau mengangkat tangan Imam ‘Ali dan seterusnya..."

Diriwayatkan juga dalarm hadis yang lain bahwa Umar menemui Imam Ali dan berkata, "Selamat bagi kamu hai ‘Ali, sekarang kau menjadi Pemimpin mukmin laki-laki maupun perempuan" Semua hadis yang saya baca itu diriwayatkan oleh Sayyid Rasyid Ridha di dalam Tafsjr Al-Manar. Dan Sayyid Rasyid Ridha adalah -sekali lagi- gurunya Muhammadiah dan Persis Gurunya meriwayatkan hadis ini. Murid-muridnya meriwayatkan hadis ini juga tetapi dengan menolak untuk mengikuti gurunya. Apa yang saya lakukan? Saya hanya akan mengajarkan apa yang diriwayatkan dan menolak apa Pendapatnya.

Semangat Pluralisme

Barulah dua ayat setelah itu Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabi’in dan orang-orang

Nasrani Siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati." Dalam surat Al-Baqarah ayat 62, Allah Ta’ala juga berfirman "Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi’in siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati." Ayat ini juga diulang dengan redaksi yang berbeda. Jadi tiga kali ayat ini disebut yang ketiga dalam surat Haji ayat 17.

Secara singkat saya hanya akan menyebutkan penafsiran seorang ahli tafsir yaitu Sayyd Husein Fadlullah Kata Sayyid Husein Fadlullah dalam tafsirnya Min Wahy al-Qur’an. "Makna ayat ini sangat jelas, ayat ini menegaskan bahwa keselamatan pada hari akhirat akan dicapai oleh seluruh agama yang berbeda-beda di dalam pemikirannya di dalam pandangan hidupnya dalam syari’atnya tapi Allah terima semuanya itu dengan satu syarat yaitu iman kepada Allah, Iran kepada hari Akhir dan melakukan amal shaleh" Dan dalam tafsir Mizan dari ‘Allamah Thabathaba-i. "Ayat ini menunjukkan bahwa keselamatan tidak bergantung kepada nama agama yang kita anut." Jadi jangan berkata karena namanya Islam pasti masuk Surga, seperti juga bahwa selain Islam pasti masuk neraka. Itu tidak betul (bersambung)

Tidak ada komentar: