Minggu, 02 Desember 2007

TAUBAT

Didalam bahasa Arab ada beberapa kata untuk menunjukan kata kembali. Kata yang paling kita ketahui adalah kata ‘Id atau ‘Aud, berasal dari kata ‘Âda-Ya’ûdu-’îdan-wa-’audan, yang artinya kembali. Sebagian orang mengatakan bahwa Idul Fitri artinya kembali kepada fitrah. Ada juga yang mengatakan fitr di situ berasal dari kata futhûr sehingga Idul Fitri diartikan bahwa kita kembali lagi kepada kegiatan makan siang hari seperti biasa.

Kata lain untuk kembali dalam bahasa Arab adalah Rujû’ dari kata raja’a-yarji’u-rujû’an. Di kalangan kita kata Rujû’, yang artinya kembali, hanya digunakan khusus untuk orang yang bercerai. Jadi ada nikah, talak, rujuk. Rujû’ artinya kembali lagi, suami yang sudah pergi kembali lagi. Di dalam Al-Qur’an kata Ruju’ lebih sering digunakan untuk menunjukan kembalinya kita kepada Allah swt. Misalnya kita menyebut Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, kita semua kepunyaan Allah dan hanya kepada Dia kita semua Rujû’. Orang yang kembali disebut raji dan tempat kembali disebut marji’. Seperti dalam ayat Al-Qur’an : “Ilayya marji’ukum, Kepada Akulah kembali semua” (QS 3:55).

Sebelum kalimat itu Tuhan berkata: “Ittabi’ Sabîla man Anâba Ilayya Tsumma Ilayya Marji’ukum. Ikutilah jalan orang yang kembali, kepada Akulah tempat kembali semua”. Sekarang kita ketemu lagi dengan kata lain untuk kembali yaitu anâba-yunibu-inâbah. Karena keindahan Al-Qur’an, Al-Qur’an tidak mengulangi kata-kata yang sama walaupun artinya sama. Penulis yang bagus mengganti untuk makna yang sama, kata-kata yang lain untuk menunjukan keindahan. Ciri orang yang tidak begitu pintar menyusun kata-kata ialah ia mengulang terus-menerus. Sayangnya bahasa Indonesia kurang begitu kaya dibanding dengan bahasa Arab. Tidak ada kata lain untuk kembali. Sehingga kita menerjemahkan “Ittabi’ Sabîla man Anâba Ilayya Tsumma Ilayya Marji’ukum” menjadi “Ikutilah orang-orang yang kembali kepada-Ku dan kepada Akulah tempat kembali kamu semua”. Kita memakai kata kembali lagi, karena tidak ada kata lain. Sebetulnya ada kata pulang, tapi agak tidak enak. Jadi untuk kata kembali, kita tadi ada ‘Id, Ruju’, dan Inabah.

Satu lagi kata yang berarti kembali dalam bahasa Arab yang sangat khas adalah Taubat. Taubat berasal dari kata Tâba- Yatûbu-Taubatan. Orang yang kembali disebut Tâib dan yang kembalinya berulang-ulang dan terus-menerus disebut Tawwâb.

Kalau kita terjemahkan Tawwâb sebagai orang yang banyak bertaubat, maka kita akan menemukan di dalam Al-Qur’an, yang disebut paling banyak bertaubat itu bukan saja manusia tetapi juga Tuhan. Tidak hanya Makhluk tetapi juga Khalik. Misalnya Allah menyebut orang-orang yang banyak bertaubat dan senang melakukan kesucian dengan kata-kata: Innallãha yuhibbu tawwãbina wa yuhibul mutathahhirin. Sesungguhnya Allah mencintai orang yang banyak bertaubat dan memelihara kesucian dirinya” (QS 2:222).

Tetapi kata tawwãb juga dinisbahkan kepada Allah swt, “Innahu huwat tawwãbur rahim. Sesungguhnya Allah itu yang paling banyak bertaubat dan yang paling penyayang” (QS 2:37). Biasanya kita kebingungan kalau mengartikan bahwa Allah yang paling banyak bertaubat. Sebab dalam bahasa Indonesia, kata taubat berarti ampunan. Sehingga kalau kita baca komik, orang-orang yang dipukul akan menjerit “Tobat!”. Taubat diartikan sebagai ampunan sehingga taubat sudah kehilangan makna kembalinya. Untunglah dalam zikir-zikir kita, kita masih menyebut Allah At-Tawwãb.

Jadi untuk menunjukan kata kembali dalam bahasa Arab kita gunakan Id, Ruju’, Inabah dan Taubat. Di dalam tasawuf, kata taubat dan inabah itu, menunjukan dua stasiun yang berbeda, dua maqam yang berbeda. Dalam kitab Manãjilus Sãirin, dinyatakan bahwa dalam perjalanan kita menuju Allah swt, taubat adalah maqam yang kedua dan inabah adalah maqam yang keempat. Maqam yang pertama adalah yaqzhah atau kesadaran. Dalam yaqzhah itu, kita tiba-tiba disadarkan oleh Allah swt akan keburukan-keburukan yang pernah kita lakukan, akan penyia-nyiaan waktu kita selama ini, dan akan kejatuhan kita dari Allah swt. Bisa jadi kita disadarkan oleh satu kejadian yang menimpa kehidupan kita. Bisa juga kita disadarkan oleh nasihat orang lain. Bisa juga kita disadarkan karena ikut pesantren kilat. Dan bisa juga kita disadarkan karena perenungan kita sendiri. Allah mempunyai berbagai cara untuk menyadar-kan. Tapi dalam tasawuf atau menurut ayat Al-Qur’an, paling banyak orang itu disadarkan karena musibah.

Yang disebut yaqzhah itu kita sebut Idul Fitri. Pada waktu yaqzhah itu, kita kembali pada fitrah kita. Menurut Islam kita semua mempunyai fitrah kesucian yaitu keinginan kita untuk kembali kepada Allah swt. Keinginan itu ada jauh dalam hati kita. Allah tempatkan dalam hati kita sebuah lampu dan itu adalah lampu fitrah yang sering kali tertutup. Al-Qur’an menggambarkan hati itu seperti misykat. “Allahu nûrus samãwati wal ardh, matsalu nûrihi kamiskah, fîha misbah. Perumpamaan cahaya Allah itu seperti misykat” (QS 24:35). Misykat itu dalam bahasa Arab adalah sebuah tempat seperti mangkuk terbalik. Bayangkan kubah mesjid atau kuburan-kuburan biasanya di atasnya ada tempat seperti mangkuk terbalik.

Di dalam ilmu Antropologi itu menjadi pembahasan mengapa tempat-tempat ibadah selalu berupa mangkuk-mangkuk yang terbalik. Misalnya candi Borobudur, katedral-katedral, dan mesjid-mesjid. Sampai ada seorang arsitek di Bandung yang tidak suka ada kubah di mesjid, karena menurutnya itu sama dengan agama Budha. Dan ajaibnya hampir semua agama punya kecenderungan untuk menganggap sesuatu yang yang seperti mangkuk terbalik itu sebagai sesuatu yang suci. Di mihrab ada ruang seperti mangkuk terbalik ini. Kalau mihrabnya kecil dan menempel di dinding, kita simpan lampu di situ. Al-Qur’an menggambarkan hati kita itu seperti misykat dan di dalamnya ada misbah (lampu). Tetapi kebanyakan misbah kita itu tertutup. Cahaya lampu di dalam itu tidak bisa keluar, cahaya fitrah kita itu tidak bisa keluar karena tertutup dosa-dosa kita. Karena perhatian kita kepada dunia.

Tetapi pada orang-orang tertentu yang membersihkan hatinya secara sungguh-sungguh, misykat itu menjadi sangat cemerlang seperti kaca. Al-Qur’an mengata-kan “Kacanya itu seakan-akan bintang yang cemerlang, yang dinyalakan apinya dari pohon-pohon Zaitun yang diberkati, yang tidak di timur dan tidak di barat. Hampir-hampir minyaknya saja bersinar padahal tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya” (QS 24:35).

Ayat-ayat Al-Qur’an itu ada yang bisa ditafsirkan secara tasawuf, atau secara fiqih; secara lahir, dan secara batin. Tetapi ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya bisa ditafsirkan secara tasawuf, secara batiniah dan tidak bisa ditafsirkan secara fikih dan lain-lain. Salah satunya itu ayat nur di atas. Imam Al-Ghazali menulis sebuah kitab berjudul Misykat Al-Anwar (misykat dari cahaya) yang isinya hanya membahas khusus ayat ini. Hakim At-Tirmidzi dan juga Syaikh Abdul Qadir masing-masing menulis sebuah kitab tentang makna ayat ini. Ayat ini jadi perbincangan di kalangan tasawuf, tapi tentu saja kita tidak akan membahasnya di sini.

Menurut Al-Qur’an, hati kita ini mempunyai lampu fitrah yang membawa kita kepada kesucian dan membawa kita untuk merindukan Allah swt. Kita ini berasal dari Dia dan jauh di dalam lubuk hati kita yang paling dalam, yang kita sebut fitrah, ada kerinduan kita kepada Allah swt. Tetapi kerinduan itu sering kita lupakan. Mungkin karena terpesona di tempat yang baru datang. Seperti ketika Anda merantau ke luar negeri. Pertama kali datang, Anda terpesona. Karena kehidupan yang senang, Anda tidak ingat untuk kembali. Yang memanggil kita untuk kembali itu adalah cahaya fitrah, lampu yang ada di dalam misykat hati kita. Misykat itu adalah bagian hati kita yang paling dalam dan masih menyimpan cahaya Ilahi itu. Sinarnya tidak kelihatan karena kita terlalu terpesona dengan kehidupan ini. Kerinduan itu masih ada. Lalu, kapan kerinduan itu tiba-tiba muncul dalam satu saat yang disebut yaqzhah? Kapan timbul kesadaran untuk kembali ke fitrah itu?

Kalau orang itu mendapat musibah, biasanya ia akan kembali kepada Allah swt. Karena itu Nabi bersabda kepada orang yang mengeluh karena musibahnya, “Sesungguh-nya tidak ada baiknya orang yang tidak pernah mendapat musibah”. Kalau mendapat musibah, orang itu biasanya kembali kepada Allah swt. Jadi musibah itu bagus, karena mengembalikan kita kepada fitrah lagi. Dengan musibah, kita mengalami Idul Fitri yang sejati, Idul Fitri yang sebenarnya. Kita kembali membersihkan misykat hati kita dan mulailah perlahan-lahan cahaya Ilahi itu keluar.

Al-Qur’an juga bercerita tentang yaqzhah atau kembali kepada fitrah ini dengan menggambarkan orang yang berada di dalam perahu. Ketika perahu berada di tengah lautan, tiba-tiba datang badai yang mengombang-ambingkan perahu itu. Semua kembali kepada fitrahnya, berdo’a kepada Allah dengan ikhlas. Tetapi ketika Allah mendamparkan mereka ke daratan dalam keadaan selamat, mereka kembali musyrik. Musyrik artinya meninggalkan fitrahnya lagi. Itu kata Al-Qur’an. Sekarang ini bangsa Indonesia sedang ditimpa badai. Menurut koran, banyak orang pergi ke dukun. Jadi di Indonesia ini ada dua pilihan kalau ditimpa musibah. Yang pertama kembali kepada Allah dan itulah Idul Fitri. Yang kedua ialah kembali kepada dukun.

Dari yaqzhah orang meningkat kepada taubat, maqam yang kedua. Dari taubat naik kepada maqam yang ketiga yaitu muhasabah. Setelah maqam muhasabah barulah maqam inabah. Yang akan kita bicarakan adalah taubat dan inabah. Kembali kepada kata taubat, kita punya istilah lain selain taubat yaitu istighfãr. Kita menyebut istighfãr juga dengan taubat. Apa perbedaan istighfãr dan taubat? Istighfãr artinya bukan kembali. Istighfãr ini berasal dari kata ghafara yang artinya menutup. Perban untuk menutup luka dalam bahasa Arab klasik, atau satu penutup kepala untuk melindungi kepala dari gangguan, semacam helm, disebut mughfar. Kalau ditambahkan alif, sin dan ta sebelum ghafara, itu berarti meminta atau mengusahakan memperoleh ghafr. Istaghfara artinya kita meminta agar di tutup dari hal-hal yang menyakitkan. Dalam Al-Qur’an kadang-kadang kita diperintahkan untuk beristighfar saja tidak disertai dengan taubat, tetapi kadang-kadang kita diperintahkan untuk beristighfar dengan disertai taubat.

Misalnya untuk ayat-ayat yang berisi perintah istighfar saja dan tidak ada perintah taubat di dalamnya adalah Al-Qur‘an surat 70 ayat 10 dan 11 yang berisi perintah Nabi Nuh kepada kaumnya yang dilanda musim kekeringan yang panjang. Nabi Nuh berkata: “Istighfarlah kamu kepada Tuhan-Mu, Dia Maha Pengampun. Dia menurunkan hujan dari langit. Nanti Allah akan turunkan hujan dari langit dalam jumlah yang banyak”. Contoh lainnya ialah ucapan Nabi Shaleh kepada kaumnya dalam Al-Qur‘an surat 27 ayat 46) “Sekiranya kamu beristighfar kepada Allah, maka kamu disayangi Allah” Juga dalam Al-Qur‘an surat 2 ayat 199, “Beristighfarlah kamu kepada Allah, sesunguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”. Al-Qur‘an surat 8 ayat 33 menyebutkan, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengazab mereka, selama kamu Muhammad berada di tengah-tengah mereka. Dan sesungguhnya Allah tidak akan menurunkan azab kepada mereka, selama mereka itu istighfar”. Itu ayat-ayat perintah istighfar yang tidak disertai dengan perintah taubat.

***

Ada pula ayat-ayat yang lain di mana istighfar disertai dengan taubat. Misalnya dalam Al-Qur‘an surat 11 ayat 3, “Beristighfar-lah kamu kepada Tuhan-Mu dan bertaubatlah kamu kepada-Nya, nanti Allah akan berikan kepada kamu kehidupan yang sangat baik sampai waktu yang ditentukan”. Atau ucapan Nabi Hud kepada kaumnya dalam Al-Qur‘an surat 11 ayat 52, “Istighfarlah kamu kepada Tuhan-Mu, kemudian bertaubatlah kamu kepada-Nya. Nanti Allah akan turunkan kepada kamu hujan dalam jumlah yang banyak.” Jadi taubat itu datang setelah istighfar. Seperti ucapan Nabi Shaleh kepada kaumnya dalam Al-Qur‘an surat 11 ayat 61: “Dialah yang membuat kamu hidup di dunia ini dan menyuruh kamu memakmurkan negeri ini. Kemudian istighfarlah kamu kepada-Nya dan bertaubatlah kamu kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang dan penuh kecintaan”.

Lalu apa yang disebut taubat dan apa yang disebut istighfar? Istighfar artinya memohonkan maghfirah. Apa yang disebut dengan maghfirah? Menurut asal katanya, maghfirah berarti penutup. Istighfar berdasar-kan artinya bermakna bahwa kita meminta agar dijaga dari akibat-akibat dosa kita, karena setiap dosa menimbulkan akibat-akibat buruk di dalam kehidupan kita.

Orang-orang Hindu percaya betul dengan apa yang disebut karma. Karma itu sebetulnya akibat buruk dari dosa. Dengan istighfar kita meminta perlindungan agar kita dijaga dari akibat-akibat buruk dari dosa itu. Dengan beristighfar kita memohon kepada Allah agar akibat-akibat dosa kita itu ditutup.

Kalau Anda bertengkar, akibat dosanya adalah Anda akan cepat celaka. Imam Ali kw berdoa “Ya Allah ampunilah dosa-dosaku yang mempercepat kecelakaan.” Imam Ali kw ditanya “Apa ada dosa yang mempercepat kecelakaan?” “Ada,” kata Imam Ali, “yaitu memutuskan silaturrahmi.” Salah satu contoh dosa yang memutuskan silaturrahmi adalah bertengkar. Akibatnya adalah mempercepat kecelakaan. Ada pula dosa-dosa yang menyempitkan rejeki, misalnya dosa membuat fitnah, mengadu domba orang, durhaka kepada orang tua, atau menyakiti hati orang miskin.

Menyakiti hati orang miskin akan mendatangkan kerugian, apalagi kalau orang miskinnya itu kekasih Tuhan. Ketika kita beristighfar, kita memohon kepada Allah agar dijauhkan dari akibat-akibat dosa. Dalam bahasa Arab, akibat-akibat dosa itu disebut tabi’ah yang artinya akibat-akibat buruk dari sesuatu. Ketika kita mau makan ada satu doa, “Allãhumaj ‘alhu rizqan thayyiban lã tabi’ata lahu wa lã hisãb.Ya Allah, jadikan ini rejeki yang baik, yang tidak ada tabiahnya, tidak ada akibat-akibat buruk selanjutnya, dan tidak ada perhitungan, serta tidak ada pemeriksaan”; dilanjutkan dengan Allãhuma bãrik lanã ...dan seterusnya. Umumnya kita berdoa dari Allãhuma bãrik lanã saja, karena kita tahu umumnya rejeki kita tidak thayib, ada tabi’ah-nya dan pasti dihisab. Jadi kita lupakan saja do’a itu. Tabiah berasal dari kata taba’a yang artinya mengikuti. Tabi’in artinya orang-orang yang mengikuti. Jadi Tabi’ah itu adalah hal-hal yang mengikuti sesuatu. Setelah kita berbuat dosa akan ada tabi’ah-nya, ada keburukannya dari dosa itu.

Orang Inggris menerjemahkan kata tabi’ah itu dengan kata consequence. Di dalam bahasa Indonesia diartikan menjadi konsekuensi. Istighfãr berarti memohon kepada Allah agar kita dipelihara dari konsekuensi dosa, dari akibat-akibat dosa, atau dari hal-hal buruk yang terjadi karena dosa kita. Sehingga Istighfãr menurut Ibnu Al-Qayyim Al-Jawjiyyah adalah memohon agar dilindungi dari keburukan atas apa yang sudah kita lakukan sebelum ini.

Adapun taubat berarti ruju’, kembali dari perbuatan buruk yang pernah kita lakukan sebelumnya kepada perbuatan baik. Ada ulama yang menyebutkan taubat adalah “ar-ruju’ minal mukhalafah ilal muwafaqah” Kita kembali dari menentang Tuhan kepada menyesuaikan diri dengan perintah Tuhan. Jadi, taubat berarti meninggalkan perbuatan buruk dan istighfar bermakna memohon agar kita diselamatkan dari akibat-akibat perbuat-an buruk. Meskipun demikian, belum tentu taubat itu menyelamatkan kita dari per-buatan-perbuatan buruk. Misalnya kolusi dan korupsi akan segera ditinggalkan atas saran IMF, tapi akibat-akibatnya masih terus berlangsung. Orang yang berzina, walaupun dia sudah bertobat, akibat dosa-dosanya masih akan ada. Istighfar itu memohon kepada Allah, agar akibat-akibat dari dosa itu dihapuskan Allah swt, agar kita dipelihara dari akibat dosa itu. Sekiranya kita dibukakan ke alam gaib dan kemudian kita melihat dosa-dosa kita beserta akibat dari setiap dosa itu, kita akan ketakutan. Kita akan segera ber-istighfar Astaghfirullãha abbi wa atûbu ilaihi.

Kita memohon supaya akibat-akibat dari dosa ini tidak berlanjut. Akibat-akibat dosa ini bisa berlanjut kepada keturunan atau kepada orang lain. Misalnya di Jerman, ibu-ibu hamil yang meminum obat penenang thalidomide, anaknya lahir cacat. Akibat dosa itu bisa mengenai orang yang bukan pelaku-nya. Bisa saja kita dipelihara dari akibat-akibat dosa, meskipun kita tidak taubat. Ada orang-orang yang terus menerus berbuat maksiat, Tuhan biarkan saja sampai waktu yang ditentukan. Al-Qur’an mengatakan: “Kami panjangkan angan-angan dia.” Bisa saja kita tidak langsung dihukum Allah, kita tidak langsung melihat akibat dosa kita ini. Dengan penuh kasih sayang, Tuhan menutupi akibat-akibat dosa kita ini. Bahkan keburuk-an-keburukan kita pun Tuhan tutupi, supaya tidak kelihatan oleh mahluk Allah yang lain. Saya sering berkata, “Kalau ada orang menjelek-jelekkan Anda, Anda tidak usah sakit hati. Karena orang itu sedang bertarung dengan Allah swt. Allah pekerjaanya adalah menutupi aib Anda dan menyebarkaan kebaikan Anda. Makin banyak orang itu menjelek-jelekkan Anda, makin banyak Allah menampakkan kebaikan Anda dan Allah pasti menang” Kerugian Anda yang suka menjelek-jelekkan orang lain itu adalah bahwa orang yang di jelek-jelekkan itu, namanya makin harum, sementara Anda sendiri bakal disempitkan rejekinya dan akan ada musibah-musibah lain untuk menyadarkan Anda. Believe it!

Kalau sudah begitu apa yang harus Anda lakukan? Disini ada perbincangan di antara para ulama. Kalau kita sudah memfitnah dan menggunjingkan orang lain, kita tidak usah menceritakan kepadanya kalau kita sudah memfitnah dia atau meng-gunjingkan dia. Yang harus kita lakukan adalah menyebarkan kebaikan orang yang sudah kita jelek-jelekkan. Sebagai tebusannya kita puji-puji dia, sebagaimana perilaku Allah. Kalau kita jelekkan orang, padahal kejelekan itu tidak ada padanya, itu namanya fitnah. Tapi kalau kita puji-puji orang, padahal kebaikan itu tidak ada padanya, itu namanya akhlak Allah. Karena seperti disebutkan dalam Doa Kumail, “Betapa banyaknya pujian baik dan indah, yang Kausebarkan tentang diriku, padahal aku tidak layak mendapat pujian itu”. Kalau Anda memuji orang lebih-kan dan hilangkan kejelekkannya.

Istighfar adalah memohonkan agar Allah swt memelihara kita dari akibat dosa-dosa kita. Karena itu dalam Al-Qur‘an disebutkan “Allah tidak akan menurunkan azab kepada mereka selama mereka ber-istighfar” (QS:8:33). Karena itu perbanyaklah beristighfar, supaya akibat-akibat dosa ini tidak menimpa kita. Nabi saw saja sering beristighfar. Sekali duduk Rasulullah saw baca istighfar sampai 70 kali. Dalam riwayat lain disebutkan 100 kali. Nabi saw memper-banyak istighfar padahal beliau adalah orang yang terpelihara dari dosa. Wirid kita adalah istighfar. Bila dosa itu terhadap Allah swt, kita harus melakukan istighfar dan taubat. Kita memohon kepada Allah agar tidak meng-hukum kita karena dosa-dosa kita dan kita lepaskan dosa-dosa yang kita lakukan. Kalau dosa itu kepada makhluk, kita juga istighfar dan taubat. Saya minta maaf kepada Anda dan hapuskan akibat-akibat dosa saya ini. Kalau masih ada tabi’ah-nya, berupa jengkel, tidak senang, marah, berarti Anda belum memaafkan secara tulus. Seperti kata Nabi Yusuf ketika memaafkan saudara-saudara-nya, “Tidak ada apa-apa lagi dalam hati saya kepada kalian pada hari ini. Semoga Allah mengampuni kalian” (QS 12:92).(*)




Tidak ada komentar: